Lucas benar-benar tidak paham alasan Arwen mengiranya sebagai gigolo. Saking penasarannya, dia juga masuk ke toilet untuk becermin. Meski dia tak tahu standar penampilan standar seorang gigolo -andai memang ada- tetap aja Lucas ingin tahu satu hal. Apakah ada indikator yang menunjukkan dirinya memiliki profesi itu?
Rasanya, tak ada perubahan apa pun pada tampilan fisiknya selama satu dekade ini. Lucas cuma mengenakan arloji di tangan kiri. Tanpa aksesoris lain seperti anting, tato, kalung. Pakaiannya hari ini pun standar, celana jins dan kemeja. Meski dia paling nyaman mengenakan kaus, tapi Martha lebih suka putranya berkemeja saat mereka makan di luar.
Lucas menuju ruangan yang dipesan ibunya sambil terus bertanya-tanya. Seumur hidup, belum pernah sekalipun ada yang mengira sebagai pemuas nafsu bagi orang-orang tertentu. Ataukah ada kesan mesum di wajahnya?
Tak menemukan jawaban yang dicarinya, pria itu memutuskan untuk melupakan masalah itu untuk sesaat. Seharusnya, dia kesal karena dituduh sebagai gigolo, kan? Apalagi, dia tidak mendapat kesempatan untuk membela diri. Akan tetapi, Lucas malah merasa geli sehingga memutuskan untuk membiarkan Arwen salah duga. Dia ingin tahu, apa yang akan dilakukan perempuan itu selanjutnya.
"Kamu telat, Luc," gumam Martha sembari menunjuk arlojinya.
Lucas menahan napas sesaat, mengingatkan dirinya sendiri untuk mengabaikan tiap kalimat bernada kritik dari ibunya. "Macet, Ma. Biasalah," gumamnya, sesantai mungkin.
Lucas membungkuk untuk mencium kedua pipi ibunya. Perempuan itu memberi isyarat agar putranya menempati kursi kosong di sebelah kanannya. Padahal, ada dua kursi lagi di depan Martha.
"Ada orang lain yang bakalan datang ke sini juga, Ma?" tanya Lucas. Dia mematuhi perintah ibunya, menarik kursi berbantalan empuk di sisi Martha. "Papa, ya?" tebaknya meski tak yakin.
Martha tak menjawab pertanyaan putranya. Perempuan itu malah sibuk menggulir gawainya lalu mengetikkan sesuatu selama beberapa saat.
"Mama apa kabar? Sehat, kan? Terakhir aku ke rumah, Mama sama Papa nggak ada." Lucas berusaha membuka obrolan.
"Kamu peduli soal Mama dan Papa sehat atau nggak, ya?" balas Martha tanpa menoleh.
"Ya pedulilah, Ma. Namanya juga anak ke orangtua."
"Kalau gitu, kenapa masih tetap nekat keluar dari Buana Mart?"
Lucas menghela napas. "Itu beda lagi, Ma. Aku cuma pengin mewujudkan mimpi lamaku. Sejak kecil, aku cuma pengin bikin tempat penitipan hewan, terutama anjing." Dia lelah mengulang-ulang hal ini. "Kalau aku berusaha mewujudkan cita-cita dan berseberangan sama harapan Mama dan Papa, bukan berarti aku nggak peduli."
Martha berdeham. Perempuan itu meletakkan gawainya di atas meja. Belum ada apa pun yang tersaji. "Pet shop kamu udah jalan?"
"Udah, Ma. Karena aku kan tinggal nerusin doang."
"Udah lebih setahun kamu keluar dari Buana Mart, tapi usahamu baru mulai kurang dari dua mingguan, kan?" Martha mengubah posisi duduknya agar leluasa menghadapa Lucas. "Apa menurutmu, itu pencapaian yang bagus, Luc? Apalagi kalau mengingat kamu itu cucu sulung Ramon Chakabuana?"
Lucas menahan perasaan kesalnya. Meski jika diizinkan menuruti kata hati, saat ini dia sungguh ingin menjawab ucapan tajam ibunya dengan kalimat pembelaan diri. Namun, dia tak mau menyakiti hati Martha.
"Mama atau Papa nggak bisa mengubah keputusanmu supaya balik lagi ke supermarket?" Martha bersuara lagi sebelum Lucas merespons. "Ini pertanyaan serius yang harus kamu jawab. Karena setelah ini, Mama nggak akan nanya lagi."
"Aku nyaman dengan hidupku yang sekarang, Ma," balas Lucas. "Jadi, aku nggak berencana ke mana-mana."
"Oke," putus Martha. Satu kata yang diucapkan ibunya itu mengejutkan Lucas dan membuatnya menegakkan tubuh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Badung | ✔ | Fin
ChickLitSeumur hidup, tak ada yang pernah mengira bahwa Lucas adalah seorang gigolo. Pria ini malah dianggap sebagai playboy karier yang selalu memacari model-model bule. Hingga Lucas bertemu perempuan sintal bernama Arwen yang ingin menyewa "jasa"-nya.