Feeling Good [1]

11.9K 2K 116
                                    

Lucas datang pukul sembilan kurang lima. Arwen yang sudah menunggu, buru-buru keluar dari rumahnya.

"Mau mampir dulu nggak, Luc?" tanya Arwen saat mendapati Lucas turun dari mobil. Kendaraan pria itu diparkir di bahu jalan yang ada di depan rumah Arwen. Lelaki itu memakai celana jins dengan sobekan di paha dan lutut serta kaus abu-abu. Uniknya, lengan kiri kaus Lucas berwarna biru langit sementara yang sebelah kanan berwarna hitam.

"Nggak usah, ya? Ntar aja pas pulangnya," tolak Lucas. Pria itu hanya berdiri di sebelah mobilnya,

Di bawah siraman cahaya matahari bulan Agustus yang begitu terang, Lucas tampak lebih "bule" dibanding biasa. Arwen melangkah perlahan dengan perut seolah diamuk torpedo. Mengapa bisa begini? Bukan baru sekali dua dia bertemu Lucas, bukan?

"Kenapa ngeliatinnya serius banget, sih?" Lucas bersuara setelah Arwen berdiri di hadapannya. Laki-laki itu mengusap pipi kanannya. Perhatian Arwen pun tersedot pada rahang lelaki itu yang berwarna kebiruan meski Lucas sudah bercukur. Serta pupil matanya yang juga berwarna biru.

"Aku baru nyadar kalau kamu itu cakep banget, Luc." Pengakuan Arwen meluncur dengan mulus. Tidak ada gunanya berpura-pura bahwa dia baru saja salah bicara. Karena cuma manusia imbesil yang menilai Lucas tidak menawan.

"Kenapa kamu baru nyadar sekarang? Aku merasa terhina."

Tawa Arwen pun pecah. "Kayaknya aku butuh kacamata, Luc. Supaya beneran bisa ngeliat pesonamu." Tangan kanannya menunjuk ke atas. "Cahaya matahari ternyata bagus buatmu, Luc. Cakepnya keliatan maksimal."

"Berarti kalau mau tebar pesona, bagusnya pas matahari bersinar ganas kayak gini, ya?" canda Lucas. "Akan kupertimbangkan."

Lucas menggamit tangan kiri Arwen, menghela perempuan itu untuk mengitari mobil. Tanpa sadar, Arwen memandang jari-jari Lucas yang melingkari pergelangan tangannya. Warna kulit mereka begitu kontras. Namun, bukan hal itu yang menyedot perhatian Arwen. Melainkan, seingat perempuan itu, ini kali pertama Lucas memegang tangannya. Saat mereka hanya berdua dan tidak perlu berpura-pura sedang jatuh kepayang satu sama lain.

"Masuklah. Kalau berniat menggombaliku, nanti dilanjut lagi." Lelaki itu membukakan pintu mobilnya untuk Arwen. Lucas menunggu hingga perempuan itu duduk di joknya sebelum menutup pintu.

"Rumahmu udah dikunci yang bener kan, Wen?" Lucas mengingatkan setelah dia berada di balik kemudi. Laki-laki itu menyalakan mesin mobil.

"Udah, dong! Ibu-ibu biasanya ngecek pintu, jendela, lampu, keran, dan kompor itu lebih dari sekali sebelum pergi." Arwen mengenakan sabuk pengamannya. Tatapannya sempat berhenti pada city car miliknya yang diparkir di depan rumahnya yang berhalaman sempit.

"Untuk ukuran cucu konglomerat, mobilmu terlalu sederhana nggak sih, Luc? Nggak jauh beda sama mobil bututku," canda Arwen. "Tadinya kukira kamu naik mobil sport. Ferrari, Lamborghini, Koenigsegg, atau minimal Aston Martin."

Kata-kata Arwen disambut tawa geli oleh Lucas. "Dulu, Vonny sering ngomong. Kalau aku atau Quentin nggak mirip cucu konglomerat yang sering dia baca di novel-novel. Jadi CEO dalam usia muda, pacaran sana-sini, berengsek, naik mobil mewah, punya supir pribadi atau asisten yang ngurusin semuanya. Apa kamu juga mikirnya gitu?" Lucas menoleh ke kiri.

"Sebentar! Ada yang harus diralat. Bagian pacaran sana-sini itu," sindir Arwen.

"Oke, aku ngalah bagian itu. Walau nyatanya sekarang aku udah lama banget nggak kencan, apalagi pacaran," balas Lucas, pasrah. "Nah, sekarang jawab pertanyaanku tadi."

Arwen berpikir sesaat. "Keluarga ibuku banyak yang hidup berkecukupan. Walau nggak bisa dibilang konglomerat, sih. Meski nggak persis kayak gambaran Vonny, terutama bagian CEO atau berengsek, tapi lumayan miriplah. Paling nggak, mobil atau rumah mewah itu semacam keharusan." Dia menatap Lucas. "Kamu dong cerita, gimana kehidupan cucu konglomerat versi Lucas Chakabuana."

Bidadari Badung | ✔ | Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang