"Luc...."
"Ya?"
"Kamu barusan ngomong apa? Coba diulangi lagi, biar aku yakin nggak salah dengar," pinta Arwen. "Tolong ngomongnya rada lambat, ya."
Lucas menuruti permintaan perempuan itu dengan senang hati. Tiap kata diucapkannya dengan perlahan sembari menatap Arwen lekat-lekat. Kali ini, takkan ada mobil yang menyalakan klakson dan menginterupsi mereka. Karena Lucas sudah memastikan dia memarkir kendaraannya di tempat yang aman.
"Tolong, jangan nanya aku serius atau nggak, siap dengan segala risiko karena kamu punya Saskia dan sebagainya. Karena aku nggak mungkin ngomong kayak gini cuma karena lagi bosen dan kurang sibuk. Jangan tanya juga sejak kapan aku punya perasaan khusus buatmu. Karena aku nggak akan tau pastinya. Yang jelas, seharian ini jalan bareng kamu, ada banyak momen yang bikin aku mikir serius. Apalagi pas kita di rumahmu. Jadi, semua omongan kamu tadi salah besar, Wen.
"Aku nggak pengin cuma jadi teman atau pacar palsumu, Wen. Udah nggak menarik lagi. Aku pengin yang nyata. Aku nyaman sama kamu. Aku bisa jadi diri sendiri di depan kamu. Yang terpenting, aku bahagia tiap kali ada di dekatmu. Semua masalah yang aku punya, rasanya nggak terlalu penting karena ada kamu. Jujur, aku masih kesulitan untuk ngasih label perasaanku buatmu. Apa udah bisa disebut cinta atau cinta banget."
Arwen pasti terlalu kaget sehingga cuma bisa balas menatap Lucas tanpa bicara. Dia memberikan perempuan itu waktu untuk memikirkan kata-katanya. Karena tidak ada lagi yang ingin diungkap Lucas. Poin-poin terpentingnya sudah diurai. Kini, Lucas tak bisa melakukan apa pun kecuali menunggu. Arwen yang memiliki kuasa apakah akan membuat Lucas menderita atau sebaliknya.
"Luc, boleh nanya satu hal, nggak?"
"Boleh, dong. Mau nanya apa?"
"Kamu maunya kujawab sekarang atau besok-besok?"
Lucas melongo. "Pertanyaan apa itu? Ya sekaranglah!"
Arwen malah tertawa kecil. "Aku nggak tau cara ngejawab yang bakalan ngasih efek dramatis dan nggak bisa kamu lupain seumur hidup. Soalnya, kejutannya udah kamu borong." Arwen memegang dadanya dengan tangan kanan. "Ini aku lagi deg-degan banget, tau! Kamu sukses bikin aku semaput saking kagetnya."
Lucas mendesah, "Dan sekarang kamu malah bikin aku deg-degan dua kali lipat dibanding tadi. Jangan bertele-tele kenapa, Wen? Sengaja mau bikin aku tersiksa, kan?"
"Luc, keluar dari mobil sebentar, yuk! Nggak leluasa ngomongnya di sini."
"Lho, kenapa? Bukannya malah...."
Protes Lucas tak sempat tuntas karena Arwen sudah membuka pintu mobil. Lelaki itu pun terpaksa ikut keluar. Lucas memutari mobil agar bisa berhadapan dengan Arwen.
"Luc, boleh minta sesuatu?"
"Boleh. Mau apa? Jus semangka?"
"Ish!" Arwen mencebik. "Minta dipeluk."
"Astaga! Gitu aja bikin drama dulu." Lucas maju untuk memeluk Arwen. Perutnya terasa mulas karena melakukan itu. Perempuan yang selalu menilai dirinya gendut ini, begitu mungil jika dibanding Lucas. Tinggi Arwen hanya sedikit melewati bahu lelaki itu. "Kamu imut banget pas minta dipeluk gini, Wen."
"Imut itu untuk anak balita, Luc. Aku udah ketuaan." Arwen menempelkan pipinya di dada kiri Lucas. "Bodoh banget kalau aku nggak mau jadi cewek beruntung itu, Luc." Dia memeluk pinggang lelaki itu. Lucas merasa luar biasa nyaman. "Aku nggak mungkin nolak jadi pacarmu. Aku pun nggak mau cuma jadi temenmu. Aku pengin lebih, Luc. Pengin kamu jadi milikku."
Lucas mencium rambut Arwen dengan kelegaan yang membuatnya nyaris berteriak. "Aku milikmu, Wen."
"Aku belum keramas, Luc. Apalagi seharian keluar dan keringatan, rambutku pasti bau."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bidadari Badung | ✔ | Fin
Literatura FemininaSeumur hidup, tak ada yang pernah mengira bahwa Lucas adalah seorang gigolo. Pria ini malah dianggap sebagai playboy karier yang selalu memacari model-model bule. Hingga Lucas bertemu perempuan sintal bernama Arwen yang ingin menyewa "jasa"-nya.