MMMBop

11.5K 2.1K 87
                                    

Arwen tak pernah memiliki teman dekat berjenis kelamin laki-laki. Bahkan, bisa dibilang, dia tidak lagi mempunyai sahabat sejak hamil Saskia. Satu per satu teman-temannya menjauh hingga yang tersisa hanya kedua adik tersayangnya.

Hamil di luar nikah dalam usia masih begitu muda, lalu membatalkan rencana pernikahan dengan pria yang sudah menitipkan benih di rahimnya, sudah menciptakan skandal besar. Shawna yang masih bersepupu dengan Arwen pun harus menjauh darinya. Apalagi, Arwen juga harus fokus membesarkan putrinya sekaligus menuntaskan pendidikan dan akhirnya bekerja.

Melakukan perjalanan selama tiga hari dua malam bersama Lucas, membuatnya menyadari satu hal. Bahwa akhirnya Arwen menemukan pria yang layak dijadikan teman. Mungkin, pada akhirnya nanti mereka bisa bersahabat.

Betapa tidak? Lucas adalah pendengar yang baik, tak suka menghakimi, lucu, dan tahu kapan saatnya harus menghibur Arwen. Di dekat pria itu, Arwen bisa santai dan terbuka. Dia menjadi diri sendiri tanpa cemas akan dinilai ini-itu.

Bahkan, Arwen tak keberatan tidur dengan kepala rebah di bahu Lucas selama penerbangan Denpasar-Jakarta. Dia tak peduli meski mendengkur atau membuat bahu Lucas pegal. Seolah, hal semacam itu adalah sesuatu yang normal-normal saja di antara mereka.

"Kamu mau langsung pulang, Luc?"

"Mau lama-lama di sini, ngapain juga, Wen? Nanti dikira lagi jual diri."

"Astaga, Luc! Itu mulut nggak ada saringannya," protes Arwen. Namun, dia tertawa geli karena ucapan Lucas. "Dari sini kamu mau naik apa? Dijemput?"

"Naik taksi. Kamu gimana? Kalau rencananya naik taksi atau DAMRI, mending bareng aku aja," sahut Lucas. Mereka sedang berjalan melewati area pengambilan bagasi.

"Ya iyalah, ngapain juga pulang sendiri," canda Arwen sambil menatap Lucas yang berdiri di sebelah kirinya. Perempuan itu cuma berpaling dua detik, tapi membuatnya tersandung koper seseorang yang berjalan dari arah berlawanan. Arwen mengaduh kesakitan dengan tubuh agak membungkuk dan membuatnya terpaksa berhenti. Lucas menarik tangan perempuan itu agar menepi. Sementara si pemilik koper memelotot ke arah Arwen sembari melontarkan kalimat makian.

Arwen menggumamkan kata maaf sambil menahan rasa nyeri di jari kakinya. Namun, si pemilik koper yang kemungkinan besar seusia dengannya itu masih belum puas.

"Makanya Mbak, kalau jalan jangan ngobrol. Supaya nggak nabrak sana-sini." Perempuan itu memandang Arwen dengan tatapan sinis. Dia sempat agak menunduk untuk memeriksa koper dengan logo merek terkenal itu. "Ini tempat umum, semua orang pengin buru-buru. Kalau sampai koper saya penyok, kamu...."

"Mbak," sela Lucas. "Teman saya udah minta maaf. Dia juga lagi kesakitan. Bisa nggak kalau Anda nggak usah terlalu banyak omong? Kalaupun koper Anda rusak, ntar saya ganti selusin sekaligus."

Perempuan asing itu mengarahkan tatapan tajamnya kepada Lucas. Dia menatap Lucas dari ujung rambut ke ujung kaki. Arwen kesal sekali melihat pemandangan itu. "Memangnya kamu tau berapa harga koper ini? Beli satu aja belum tentu mampu, apalagi sok-sokan mau borong selusin."

Arwen menegakkan tubuh, melupakan rasa sakit yang membuat kaki kanannya seolah kehilangan tenaga. Orang-orang yang berlalu-lalang di sekitar mereka, melirik dengan mata dipenuhi keingintahuan. Namun Arwen tak terlalu ambil pusing.

"Mbak, saya memang salah karena kurang hati-hati. Saya minta maaf. Tapi, nggak perlu juga menghina orang lain gara-gara koper mahalmu yang keliatannya baik-baik aja."

"Manusia zaman sekarang memang unik. Dia yang salah tapi dia juga yang galak," kritik si pemilik koper.

Arwen sengaja meniru tindakan perempuan itu, menatap dari atas ke bawah. Dia menemukan merek-merek ternama yang harganya tidak murah, bertebaran di mana-mana. Perempuan ini jelas-jelas berduit dan memilih menunjukkannya dengan mengenakan benda-benda berharga mahal. Tidak ada yang salah dengan hal itu.

Bidadari Badung | ✔ | Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang