Pom Poms

14.4K 2.1K 60
                                    

Beberapa minggu ini, Arwen tersiksa setengah mati. Karena dia tak mungkin absen di acara pernikahan Sati. Jika nekat melakukan itu, seumur hidup dia akan diolok-olok. Selain paksaan untuk berkencan dengan Luigi.

Sebenarnya, dia bisa saja menolak dan mengabaikan para sepupu jahatnya. Bila perlu, tak usah lagi hadir di acara keluarga selamanya. Akan tetapi, Arwen tak bisa sepengecut itu. Dia tak ingin ibunya mendapat sindiran terus-menerus. Selain itu, ada bagian dirinya yang merasa tertantang dan ingin memberi bukti bahwa Arwen tak semenyedihkan opini keluarga besar Verra.

Arwen stres karena tidak tahu jalan keluar masalahnya. Hingga dia melihat Lucas dan ide liar itu mendompak kepalanya begitu saja. Memanfaatkan jasa gigolo yang dibayar dengan profesional adalah hal genius. Seketika, Arwen merasa pintar.

"Maaf ya Bu, aku terpaksa nitip Saskia dulu. Padahal tadinya nggak berniat ke mana-mana. Beneran cuma mau leyeh-leyeh di sini," kata Arwen, saat sarapan. "Ada janji penting yang nggak bisa kulewatkan. Aku bakalan berangkat jam tigaan dari sini. Pulangnya mungkin jam delapan," imbuhnya tanpa detail lebih lanjut.

"Nggak apa-apa. Ibu malah berharap Saskia kamu titipin di sini sampai tahun depan," gurau Verra. "Sejak Margo pindah, rumah ini jadi makin sepi. Ibu suka banget kalau Saskia sering bisa nginep di sini."

"Aku udah bilang sama Ibu, kenapa nggak punya anak lagi? Supaya ada kesibukan baru dan nggak ngeluh melulu gara-gara Margo tinggal sendiri. Aku nggak dianggap sama sekali. Padahal aku si bungsu, harusnya jadi anak yang paling disayang," sambar Breanna.

Arwen tertawa terbahak-bahak. Urusan bicara blakblakan, Breanna tak jauh beda dengan dirinya. Namun Margo sebaliknya. Perempuan itu terbiasa menjaga kata-katanya dengan baik.

"Semua ibu nggak pernah siap ditinggal anaknya, Bre. Entah karena nikah, melanjutkan sekolah, atau tuntutan kerjaan. Penginnya bisa ngumpul terus seumur hidup," ungkap Verra.

Ucapan ibunya bisa dipahami oleh Arwen. Itu juga yang dirasakannya jika berkaitan dengan Saskia. Mungkin, memang tak ada orangtua yang siap untuk berpisah dengan anak-anaknya, tak peduli sedewasa apa mereka.

"Kamu beneran mau datang ke Ubud, Kak?" tanya Breanna. "Nggak bosen disindir-sindir melulu?"

"Aku udah janji sama Sati dan Tante Mentari, Bre. Nggak enak kalau dibatalin gitu aja. Lagian, mereka udah pesenin kamar untuk semua tamu." Arwen bicara dengan nada santai. Dia mengingatkan diri sendiri agar memesan tambahan kamar untuk Lucas setelah bertemu dengan lelaki itu. "Yang lain, cuekin aja."

"Tumben kamu mikirin janji sama Sati, Kak. Kalau yang nikah itu Shawna, aku sih maklum. Tapi Sati? Dia kan sebelas dua belas sama Mawar atau Lena."

Breanna benar, tapi Arwen tidak mungkin membenarkan ucapan adiknya. "Ini hari istimewanya Sati, Bre. Lupain sebentar sisi jahatnya. Selain itu, kamu dan Margo nggak mau datang. Kalau cuma Ibu dan Ayah doang yang ke sana, tau sendiri gimana efeknya. Aku nggak mau Ibu disindir-sindir melulu."

"Ibu tahan banting, lho! Kalau cuma disindir doang, kecil itu," sahut Verra. Mereka bertiga mengeliling meja makan. Sementara Adrian menemani Saskia jalan keliling kompleks sejak seperempat jam silam.

"Kenapa ya, keluarga Ibu itu mengerikan banget? Pada demen nyiksa orang." Breanna meletakkan sendok di atas piring. Mi gorengnya sudah habis. "Tapi kalau dipikir lagi, mereka kayaknya antipati sama keluarga kita. Terutama sama kamu, Kak. Tau alasannya, nggak?" Breanna menyenggol lengan Arwen.

"Nggak tau dan nggak peduli," balas Arwen.

"Hush! Jangan ngegosipin mereka di depan Ibu!" sergah Verra. "Kamu tetap mau pergi sendiri, Wen? Nggak bareng sama Ayah dan Ibu aja?"

Bidadari Badung | ✔ | Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang