Halo

8.3K 1.7K 74
                                    

"Kamu kenapa, Luc? Mimpi, ya?" tanya Arwen saat melihat Lucas melompat dari pangkuannya dan langsung menyambar ponsel yang diletakkan di atas meja.

"Sebentar ya, Wen. Aku mau nelepon Quentin dulu." Lelaki itu tersenyum sembari menggoyangkan gawainya. Usai menggenapi kalimatnya, Lucas meninggalkan ruang tamu.

Arwen bersandar dengan tangan kanan mengusap pahanya yang lumayan pegal. Dia lega karena Lucas sudah kembali seperti pria yang dikenal Arwen selama ini. Wajah kusut Lucas yang membuat kepala Arwen dipenuhi dugaan-dugaan buruk, kini sudah kembali berhias senyum cerah. Arwen tidak tahu bahwa dia bisa begitu mencemaskan seseorang seperti tadi.

Lucas kembali ke ruang tamu tak sampai lima menit kemudian. "Aku kelamaan tidurnya sampai bikin pahamu pegal kan, Wen?" Pria itu duduk di sebelah kiri Arwen. Dia kembali merebahkan kepalanya di pangkuan perempuan itu. "Maaf, ya. Tapi, aku betah tiduran kayak begini. Gimana, dong?"

Arwen mengelus rambut Lucas. Tawanya pecah. "Ya bagus kalau kamu betah. Justru bahaya kalau sebaliknya." Perempuan itu mengecek arlojinya. Sudah hampir pukul sepuluh pagi. "Sekarang, kamu mau ngapain? Ada rencana tertentu?"

Lucas mendesah, ekspresinya berubah serius. "Kamu beneran nggak apa-apa? Kita tetap baik-baik aja?"

"Iya, kita baik-baik aja, Luc." Arwen menunduk untuk mencium ujung hidung Lucas. "Apa aku aneh karena nggak ngamuk sama kamu gara-gara ini? Apa aku abnormal karena menganggap semua ini bukan persoalan hidup dan mati? Maksudku, hidup dan mati yang menyangkut suatu hubungan." Arwen menatap Lucas lekat-lekat.

"Kamu nggak aneh atau abnormal. Kamu luar biasa, Wen." Lucas memegang tangan kiri Arwen dan menempelkan telapaknya ke dada pria itu.

"Aku kaget, Luc. Banget. Tapi, ya cuma sebatas itu. Aku nggak marah atau cemburu karena udah kejadian dan nggak bisa diapa-apain lagi. Masa lalumu dan masa laluku nggak ada kaitannya sama hubungan kita. Tolol kalau aku meributkan sesuatu yang nggak bisa diubah."

Lucas akhirnya tersenyum. "Aku nggak bisa bilang gimana leganya perasaanku karena kamu bisa terima berita ini dengan tenang, Wen. Aku udah panik dan ketakutan setengah mati sejak kemarin. Mikirnya udah yang jelek-jelek aja."

Arwen masih mengelus rambut Lucas dengan tangan kanannya. "Lain kali, tolong lebih percaya sama aku. Kalau ada masalah, kamu harus ngomong. Bukan malah panik dan bikin dugaan-dugaan ajaib," pintanya. "Kejujuran dan keterusterangan itu penting untuk suatu hubungan yang dewasa, Luc."

Lucas mendesah, "Aku tau, Sayang. Tapi, wajar kalau aku takut, kan? Karena punya anak itu nggak sama kayak punya baju baru atau ganti model rambut."

Tentu saja Lucas benar. "Iya, betul," Arwen membenarkan. "Tapi, kamu harusnya bisa lebih objektif. Dengan masa laluku, apa nggak berlebihan kalau aku meributkan kamu yang ternyata udah punya anak?"

"Cara kerja otak seseorang yang takut kehilangan orang yang dicintainya, nggak kayak begitu, Wen. Aku nggak bisa mikir objektif sama sekali." Lucas memejamkan mata. "Sebelum ngeliat reaksimu, rasanya dunia ini gelap banget. Nggak ada harapan sama sekali."

Arwen merasakan dadanya dipenuhi kehangatan. Lelaki ini ternyata begitu mencintainya. Berarti, Arwen tidak salah pilih. Padahal, di mata orang-orang "normal" di luar sana, Arwen bukan perempuan yang diperhitungkan. Ibu tunggal yang memiliki anak di luar nikah, mana pernah mendapat pemakluman dari masyarakat timur? Apalagi, dia berasal dari keluarga biasa dengan pekerjaan yang tak kalah biasa.

"Udah ya, bagian mellow-nya. Kita baik-baik aja, Luc," tegas Arwen. "Sekarang, kamu ada rencana apa? Mau pacaran seharian atau gimana?"

Lucas akhirnya tertawa. "Penginnya sih pacaran sampai puas, Wen. Nggak cuma seharian. Tapi, berhubung aku harus ngecek beberapa hal di pet shop, terpaksa deh kita ke sana dulu. Tapi kamu nggak boleh ke mana-mana. Kamu harus nemenin aku seharian ini."

Bidadari Badung | ✔ | Fin Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang