BAB 41 [Harta yang Paling Berharga (Bagian I)]

26.5K 2.5K 1.1K
                                    

Hai, aku balik lagi

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Hai, aku balik lagi

Nah, kalau rame kan jadi cepet nih hehe

Kalau mau cepet lagi, rame lagi yaw

Absen dulu yang kemarin kepo?

Yang kemarin dag dig dug?

Duh, ada apa ya? Huhu :(

Btw, kasih 600++ komen kita lanjut lagi, gimana?

Ya udah, baca dulu, deh. Happy reading.
.
.
.
.
.

Kahfi membuka matanya perlahan. Sinar cahaya pagi menembus melalui tirai-tirai jendela kamarnya. Kahfi hanya sedikit ingat apa yang terjadi semalam hingga pagi tadi. Tahu-tahu semalam dia sudah bangun di kamarnya. Sekarang yang dia ingat, motornya hilang, motornya dicuri. Direnggut paksa darinya setelah dia dipukuli oleh sekelompok orang tak bertanggung jawab. Semalam Rania langsung merawatnya dan memberi pertolongan pertama dengan cepat. Hingga akhirnya dia bisa tertidur dengan sedikit tenang meski bagian punggungnya hampir mati rasa.

Kahfi meringis, merasakan beberapa luka lebam yang masih terasa nyeri hingga sekarang. Badannya dibalut perban dan obat merah membaluri sisi tangan dan pipinya. Perlahan dilangkahkan kakinya yang pincang keluar dari kamar. Sayup-sayup suara menyebalkan di sekelilingnya semakin terasa. Terutama dari Danny dan Miko, yang sejak tengah malam tadi sudah ke sini karena mendengar peristiwa itu.

"Gue, kan, udah bilang! Tempat yang lo datengin semalem itu lagi marak begal dan pencurian! Bukannya dari kemarin berita sama medsos udah sebarin informasi itu? Untung cuma motor lo doang yang ilang, coba kalau nyawa lo juga—"

"Astagfirullah, Bang!" Abby menjerit dari jauh. "Eh, punya mulut itu dijaga, Bang Dan! Istighfar!"

Danny hanya menghela napas panjang. "Untung pas lo ketemu, lo itu masih agak sadar. Untung cuma badan lo yang luka. Untung badan lo masih utuh. Untung lo nggak sampe—"

Kahfi hanya mendudukkan diri dengan pasrah. Mukanya yang semula agak tenang kini kembali muram. Matanya berputar menatap Hendra yang hanya diam pura-pura membaca dibalik korannya. Sementara Henita menyiapkan secangkir teh.

"Nanti diminum ya obatnya." Henita menyurungkan seplastik obat.

Kahfi hanya menggeleng lesu. Tak lama giliran Yumna mendekat padanya membawa sepiring nasi areh. Kahfi masih diam. Sejak semalam mereka saling diam. Kahfi tahu, Yumna sedih dan terus menyalahkan dirinya sendiri seperti sekarang. Kahfi melihat mukanya yang merah dan sembab.

"Makan, Yumna suapin."

Lama Kahfi terdiam sampai akhirnya membuka mulut. Yumna menyuapinya pelan-pelan. Sedikit demi sedikit. Meski ditahan, akhirnya matanya banjir juga. Kahfi pura-pura tertawa saat menghapus air mata yang berlinangan di pipi Yumna.

Kahfi dan Yumna 2Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang