2S. 2

1.7K 124 54
                                    

"Gio, please tutup jendelanya." Aku bergumam dalam tidurku. Hawa dingin mulai menusuk tulang, semilir angin menyentuh lenganku. Selimut yang hanya sebatas perut kenaikan hingga leher guna mencari kenyamanan.

Aku kembali meringkuk melanjutkan tidur yang terganggu karena angin yang masuk melalui celah jendela. Mataku kembali terpejam namun pikiranku mulai sadar perlahan. Selama ini aku tidak pernah lupa mengunci jendela, pikirku sambil menahan kantuk dan juga pusing pada kepala namun semua itu ku hiraukan karena mataku yang masih terasa berat, dan aku kembali terlelap.

Entah sudah berapa lama aku terpejam,namun mual pada perutku semakin terasa, mau tidak mau aku membuka mata dan beranjak dari tempat tidur. Aku berusaha untuk berdiri dengan tangan kiri bertumpu pada dinding tembok, kakiku terasa lemas untuk sekedar berdiri, ini akibat alkohol semalam membuat seisi ruangan terasa berputar.

Aku mengerjapkan mata menajamkan penglihatan pada tirai jendela yang terbuka lebar sepertinya hari sudah berganti pagi.

Langkah demi langkah membuat kesadaraanku pulih. Perutku yang mual hilang secara mendadak ketika melihat posisi kamar dan jendela yang terbuka. Tepat di depan pintu berwarna putih, aku memaksakan kedua kakiku untuk berdiri tegak, kamar ini terasa asing, sambil memijat keningku yang terasa pening ku edarkan pandangan pada seluruh ruangan yang di dominasi warna putih dan beberapa perabotan yang tertata rapih menandakan jika aku benar-benar sedang tidak berada di apartement atau rumahku. Cat kamar apartementku berwarna abu muda sedangkan cat kamar rumah berwarna abu gelap.

Shit, aku memukul kepalaku mencoba mengingat-ingat kejadian semalam tapi tak satupun yang mampir di ingatanku. Dengan sekuat tenaga aku membuka pintu kamar yang berukuran lebih tinggi dari kamarku, namun sialnya pintu terkunci dari luar. Apa yang terjadi padaku? bagaimana aku bisa ada disini? Serangkai pertanyaan membuat kepalaku berdenyut hebat.

Dug dug dug... Gedoran pada pintu tak kunjung henti. Aku baru ingat jika semalam aku membawa tas, segera aku bergegas mencari tasku yang berisi dompet dan juga handphone, tak ada dimanapun, padahal jalan satu-satunya yang bisa kulakulan dengan ponselku yaitu menelpon polisi. Lengkap sudah kesialanku.

Aku menghela napas panjang, meredam emosi yang menyeruak, kesal bercampur takut. Bagaimana tidak, bangun-bangun aku berada di tempat asing. Tubuhku tak bergeming, berkali-kali aku menggigit bibirku, memusatkan ingatan tentang kejadian semalam, namun yang ku ingat hanya suara Gio.

Come on Shania berpikir-berpikir gimana caranya keluar dari kamar ini. Aku menenangkan diri, mencoba rileks dalam kondisi seperti ini. Ketakutanku yang pertama adalah aku di perkosa dalam keadaan tidak sadar. Rasa panik menuntunku kedepan cermin besar yang terletak di samping tempat tidur, aku memeriksa seluruh bagian tubuhku dari leher hingga pangkal paha. Untungnya tidak ada bekas apapun, pakaianku juga masih utuh. Aku sedikit bernapas lega, setidaknya harta berharga yang ku punya masih terjaga. Cukup Boby saja yang kubiarkan menikmatinya tidak dengan orang lain.

Sakit pada kepalaku tak lagi ku rasa, yang sekarang ingin kulakukan adalah pergi dari sini. Pasti ada jalan.

Aku mondar-mandir mencari cara hingga tanpa sadar pandanganku mengarah pada jendela besar yang tertutup tirai tipis berwarna putih. Tanpa menunggu lagi aku segera berlari kearah jendela kamar ini. Bibirku terangkat seutas senyum terlihat, aku masih punya harapan untuk bisa keluar dari kamar ini. Namun ketika aku melangkahkan kaki untuk lebih dekat, lututku lemas seketika. Aku berada di balkon kamar yang bawahnya patung-patung dan bebatuan, sudah pasti jika aku melompat maka tewas sudah saat itu juga. Hanya dengan membayangkan saja sudah membuatku bergidik ngeri.

"Sialan!" Umpatku yang mulai jengah, aku kembali duduk di tepi ranjang, menelisik satu persatu yang tertera di ruangan ini.

"Kalo sampe gue tau siapa yang udah nyulik gue, gue pites-pites sumpah." Aku kembali memaki siapapun yang sudah berani melakukan hal ini padaku. Tak banyak yang bisa ku lakukan selain berdoa dan pasrah, namun jiwa-jiwa berontakku mulai bergejolak, mataku mengawasi sekitar ruangan besar ini, tak ada CCTV atau memang ada namun aku tidak tau tempatnya dimana. Kamar ini terlalu besar untuk orang biasa, tak banyak perabotan hanya rak buku, lemari, sofa dan juga televisi. Aku bahkan tidak tau sekarang jam berapa, disini tak ada jam sama sekali.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang