2S. 16

1.2K 133 141
                                    

Jangan pernah menjalin hubungan gelap dengan seseorang yang tidak akan merasa lebih kehilangan daripada dirimu. - Tamar cohen
(The mistress's Revenge)


Shania menatap sekeliling ruangan apartemen yang terasa sepi. Sunyi menghadirkan rindu seolah akrab menyapanya saat sendiri. Kakinya berjalan ke arah kursi yang biasa Boby pakai untuk bermain game. Shania duduk merasakan kembali hatinya tersayat oleh penghianatan. Air mata kembali jatuh dari sudut netranya, tangannya mengepal menyentuh dadanya yang terasa sakit. Shania selalu berdoa setiap hari agar Tuhan menghilangkan rasa sakitnya, membebaskan sesak yang menghimpitnya dan juga meminta Tuhan menghilangkan ingatannya tentang semua kejadian buruk yang menimpanya. Setiap malam Shania tak pernah berhenti menangis, ia tak pernah serapuh ini. Kepercayaannya sudah benar-benar kandas terhadap Boby.

Ponsel keluaran terbarunya berdering, Shania segera menghapus air matanya dan kembali menetralkan ritme jantungnya. Tangannya meraih ponsel yang terletak di dalam tas, di lihatnya siapa yang menelponnya.

"Iya, kenapa?" Suara Shania terdengar sumbang lantas beranjak membuka pintu apartemennya.

"Ada apa, Vin?" Tanya Shania secara langsung, ia bahkan tak mempersilahkan Vino untuk masuk terlebih dahulu. Vino berdiri dengan pakaian rapi khas kantoran.

"Shania, kamu kenapa?" Ucap Vino balik bertanya. Punggung lengannya menyentuh dahi Shania yang sedikit tertutup rambut.

"Gue gak apa-apa, Vin." Shania memundurkan badannya lalu melangkah ke dalam diikuti Vino.

"Aku kesini mau ngobrolin sesuatu soal kemaren di hotel. Ak-" Ucapannya terhenti saat telapak tangan Shania terangkat sebagai tanda untuk diam.

"Gue lagi gak mau bahas apapun dan soal siapapun, mood gue lagi ancur banget, Vin. Tolong tinggalin gue sendiri." Ujar Shania rendah. Vino mengerti jika keadaan Shania tampak tidak baik, mungkin ini bukan waktu yang tepat untuk membicarakan hal seserius ini.

"Iya, Shan. Maaf ganggu, aku pamit." Vino berdiri dan kembali menuju  pintu. Langkah Vino harus terhenti ketika di depan pintu berdiri seorang lelaki yang sama tingginya. Sesaat mereka bersitatap tanpa kata, hanya gemeretak gigi yang beradu terdengar ngilu. Kacamata minusnya tak menghalangi ketajaman mata yang menusuk retina.

"Bob, gue bisa jelasin,"

Bugh! Pukulan tepat di rahangnya membuat Vino terhuyung beberapa langkah. Satu pukulan tepat lebih baik dari pada puluhan namun acak. Darah keluar dari mulutnya, sepertinya ada beberapa gigi yang rontok akibat pukulan dahsyat Boby.

Suara gaduh dari arah luar membuat Shania mau tak mau melihatnya, kedatangan Shania bersamaan dengan beberapa security yang baru saja keluar dari lift.

"Mas, mas berhenti mas." Teriak dua security berbadan tinggi tegap. Shania mematung terkejut oleh kedatangan security tadi dan melihat wajah Vino yang babak belur.

"Boby!" Bentak Shania menggema. Boby tak menghiraukan teriakan Shania, tangannya terus meronta tak terkendali padahal ia sudah ditahan oleh dua security.

PLAK! Tamparan yang Shania berikan tak kalah keras dari pukulan yang ia berikan kepada Vino. Setelah tamparan mendarat di pipinya barulah Boby diam.

"Pak, tolong bawa teman saya ke rumah sakit ya." Ucap Shania ke dua security tersebut.

"Baik, mbak."

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang