2S. 6

1.7K 130 55
                                    

Pagi ini rumah sakit terasa lebih mencekam dari biasanya, teriakan Shania yang memaki Boby sejak lima belas menit lalu terdengar hingga luar. Pria berkacama itu duduk dengan pasrah. Kinan dan juga Veranda yang masih berada di ruangan tersebut tak mampu menolong Boby dari amukan adik kesayangannya.

"Kamu gak tau aku setakut apa ngadepin cowok saiko itu Bob. Aku udah bilang ke kamu beli buburnya online aja, malah ninggalin aku sendirian." Boby menundukan kepala tak berani menatap Shania yang kini tak melepaskan tatapan pada kedua bola mata miliknya.

Sedetik kemudian Shania melunak, nadanya tak setinggi tadi namun kekesalannya belum juga usai.

"Untung kamu datang tepat waktu, gimana kalau sampai dia ngapa-ngapin aku, emang kamu rela? Mau tanggungjawab kalau terjadi sesuatu sama aku? Gak kan?"

Veranda yang sedang duduk bersama Kinan melirik ke arah Shania untuk kesekian kalinya. Ia tahu watak dari adiknya memang sedikit keras namun masalah ini tidak akan ada ujungnya jika diselesaikan dengan amarah.

"Shan, ini rumah sakit jangan sampe kita diusir gara-gara kamu ya."

"Shania tau ini rumah sakit kak. Emang siapa bilang ini mall." Tubuh lemah itu kembali merebah di ranjang besi berlapis matras. Shania membuang napasnya kasar, mencoba menahan ledakan emosi yang meletup-letup karena Sakti yang berani menyentuhnya juga kekesalannya terhadap Boby yang tega meninggalkannya.

"Shan..." panggil Boby hati-hati.

"Apa?" Jawab Shania galak. Boby hanya menggeleng tak bersuara, ia mengurungkan niatnya untuk berbicara. Jantungnya mencelos ketika ia mengingat lagi tubuh polos Shania dengan darah mengalir dari hidungnya.

"Dasar gak berguna!" Gumam Shania.

"Shania! Kakak gak suka ya kalau kamu kasar gitu." Shania menjatuhkan pandangan pada sang kakak yang baru saja duduk di tepi ranjang. Veranda lantas melirik Boby menyuruhnya untuk tetap tenang.

"Udah ya, kasihan Boby. Dia kan gak tau kalo Sakti ke apartement kamu. Yang terpenting sekarang, dia udah di tahan di kantor polisi." Shania membuang tatapan jengah mendengar kakaknya membela Boby yang sudah jelas-jelas membuatnya masuk rumah sakit.

"Sekarang kamu istirahat, gak capek marah-marah terus dari tadi?" Veranda menenangkan Shania dengan mengusap bahunya. Namun Shania sepertinya enggan untuk disentuh sedikitpun. Amarahnya terhadap Sakti membuat semua orang kena imbasnya.

"Aku mau pulang!" Balas Shania cepat. Veranda hanya bisa menyabarkan hati menghadapi adiknya yang tidak tau situasi.

"Kakak izinin kamu pulang asal kamu pulang ke rumah biar ada yang jagain." Mendengar jawaban kakaknya Shania siap melayangkan protes namun Veranda kembali berbicara tanpa menghiraukan Shania yang menatapnya tajam.

"Atau kamu boleh tinggal di apartemen asal dengan Boby. Untuk saat ini kakak cuma percaya sama Boby sebagai orang terdekat kita." Boby yang sedang tertundukpun langsung mengarahkan pandangannya kepada Veranda. Veranda yang sadar akan hal itu hanya tersenyum kaku dengan wajah memohon.

Shania tak menggeleng juga tak mengangguk tanda mengiyakan, ia hanya menatap kakaknya kemudian melirik Boby yang masih diam dalam kebisuannya.

"Oke." Jawab Shania singkat. Veranda yang mendengar jawaban itu hanya mengelus dada.

"Oke apa, Shania. Yang jelas biar kakak gak khawatir sama kamu."

"Oke, aku setuju untuk pilihan yang kedua. Tapi kalo sampai dia ninggalin aku lagi, kak Ve harus hukum dia."

"Hukum? Hukum apa?" Dahi Veranda mengerenyit.

"Ya apa kek, kak Ve gak liat dia ninggalin aku pas kejadian tadi. Sekarang kak Ve percayain aku ke dia. Cowok macam apa kayak gitu."

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang