2S. 9

1.2K 107 59
                                    

Vino menyeret langkahnya dengan gontai, mengendurkan dasi yang menyekik lehernya. Urat tegang pada pelipisnya semakin menyembul, kakinya berhenti di depan pintu.

Cklek. Pintu kamar 202 terbuka, pria berkacamata tersenyum ramah.

"Selamat siang pak, pesanan makan siang untuk bu Shani Indira." Boby mempersilahkan order taker untuk masuk menyiapkan hidangan makan siangnya.

Terlihat Shani yang baru saja keluar dari kamar mandi sudah memakai pakaian lengkap. Shani menghampiri Boby yang berdiri menunggu makan siang di sajikan.

"Makan siang dulu ya sebelum kak Boby pergi. Kak Boby pasti belum makan siang." Shani memeluk Boby, memperlihatkan keserasian mereka di depan order taker yang sedang menyiapkan hidangan.

Boby melepas pelukan, tersenyum gemas lantas merangkul pinggang Shani.

"Ini tagihannya, bu." Shani memberikan beberapa lembar uang kepada order taker. Setelah selesai dengan pembayaran, keduanya makan siang terlebih dahulu.

Suara besi trolly samar terdengar lalu berhenti disebuah ruangan mirip gudang. Seorang pria bername tag Julio mengetikan sebuah pesan pada layar ponselnya.

"Istri anda bersama seorang laki-laki berkacamata."

Vino sudah kembali ke kantornya, pesan masuk yang baru saja ia baca semakin membuatnya geram. Tangannya meremas ponsel dengan kuat, melemparnya ke tembok hingga tak berbentuk.

Brak! Hentakan pada meja kerjanya menggema ke seluruh ruangan. Vino mengacak rambutnya frustasi.

"Amel, tolong bilangin pak Haris saya ada urusan sebentar. Nanti kamu kirim filenya lewat email saja."

"Baik, pak."

Vino keluar melewati banyak sorot mata, beberapa karyawan meliriknya dengan takut. Vino memang di kenal orang yang ramah, hangat dan jarang sekali marah. Mungkin ini kali pertama mereka menyaksikan atasannya dengan wajah murka.

++++

Bibirnya terus menghisap tembakau dengan filter berwarna putih, menimbulkan aroma sedap namun mematikan. Asap rokok memenuhi ruangan kerja Yona, matanya tajam menatap wanita dengan rambut pendek yang kini duduk anteng dengan secangkir kopi ditangannya.

"Apa aku sudah boleh pergi?" Sakti mengusap rambutnya gerah.

"Jadi, wanita itu yang membebaskanmu?" Tanya Yona dengan wajah tenang nan dinginnya.

"Kakak kaget aku bisa keluar dengan cepat? Bahkan aku keluar tanpa bantuan kakak sedikitpun." Sakti duduk diantara selah jendela, melempar tatap pada cermin yang memantulkan bayangan dirinya.

"Apa rencana kalian?" Yona berucap dengan tak sabar.

Sakti terbahak mendengar pertanyaan Yona. "Kenapa kakak begitu tertarik dengan kisah rumit wanita itu? Apa karena Shania?" Sakti menghembuskan asap itu ke udara. Terdengar kekehan kecil dari mulut Sakti, "jangan ikut campur ini bukan urusan kakak."

Sakti menginjak rokoknya, bara api itu padam seusai menyentuh dinginnya lantai. "Lo bukan kakak gue. Kita gak punya ikatan darah. Jangan pernah lo halangin kebahagian gue, jangan pernah ikut campur masalah gue."

Sakti berlalu pergi, sementara Yona tersenyum dengan tarikan napas yang terasa berat.

Yona menghubungi Shania berniat untuk membicarakan hal ini dengan lebih serius. Namun sepertinya Shania sangat sibuk hingga teleponpun baru di jawab setelah tiga kali panggilan.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang