2S. 19

1.5K 119 189
                                    


Pagi itu mentari belum terlihat sempurna, sebagian sinarnya tertutup awan gelap yang bergerak lambat. Shani tergugu di kamar yang lama tak ia tempati. Setelah sholat subuh Shani tidak kembali tidur, ia memilih untuk meringkuk dengan tatapan nyalang. Di hadapannya terlihat amplop coklat berisi surat cerai yang sudah di tandatangani tanpa berniat menyentuhnya, Shani hanya diam sembari mengigiti kukunya hingga berdarah.

"Awh," darah segar keluar dari telunjuknya. Shani mengambil tissue lalu membungkus jemarinya. Semakin lama perihnya semakin terasa bukan berasal dari luka di tangannya melainkan dari relung kalbunya. Air matanya menggenang di pelupuk mata saat ingatannya kembali mundur pada beberapa waktu lalu ketika ia dan ayahnya berbicara.

Flashback On

Mobil mewah Shani keluar dari area perkantoran. Ditemani supir pribadinya, Shani menuju rumah orang tuanya. Ia sudah menelpon ayahnya terlebih dahulu dan ternyata ayahanda Shani sedang berada di rumah. Selama perjalan Shani berusaha menenangkan diri, mencoba tidak terlalu ambil pusing dengan ucapan Shania, bisa saja Shania hanya membuatnya panik namun entah kenapa ia tak bisa mengabaikan perkataan rivalnya tersebut.

"Pak, tolong ngebut ya." Ucap Shani pada supir pribadinya.

Setelah menempuh kurang lebih satu jam perjalanan, akhirnya mobil Shani tiba di rumahnya. Kedatangannya langsung di sambut pelukan oleh ibunda dan ayah tercintanya.

"Assalamualaikum,"

"Walaikumsalam, ya Allah kenapa ngga bilang ibu sih nak kalo mau kesini." Jawab ibu Shani merangkul anak bungsunya.

"Maaf, bu, Shani mendadak. Tadi ngabarin pas udah di jalan."

Shani duduk di sofa ruang tamu keluarganya, rasanya rindu sekali dengan rumahnya. Hampir empat bulan ia belum mengunjungi kedua orang tuanya lagi. Shani melirik ayahnya yang sudah berpakaian rapih lengkap dengan tas kerjanya.

"Ayah mau ke kantor?" Tanya Shani lembut memulai perbincangan.

"Nggak, nak. Ayah ada urusan hari ini sama pak Devan." Balas ayah Shani dengan suara rendah.

Shani menelisik ayahnya, rambutnya sebagian sudah memutih dengan gurat letih pada wajahnya. Shani berpindah duduk di samping ayahnya, sedangkan ibu Shani hanya tersenyum menyaksikan adegan yang lama tak dilihatnya.

Ibunda Shani pergi ke dapur hingga tersisa keheningan diantara keduanya. Shani menyandarkan kepalanya pada bahu yang sekarang terlihat merosot tak lagi tegap, menggandeng lengan kokoh ayahnya dengan perasaan campur aduk.

"Yah"

"Iya, sayang."

"Sebentar lagi, ayah akan jadi kakek. Ayah seneng?"

Ayah Shani menatap jemari putrinya yang begitu halus terurus, membawanya ke dalam genggamannya.

"Ayah sangat bahagia, kandungan kamu sehat kan? Kemaren ibu kamu terus bujuk ayah buat main ke rumah kamu sama Vino. tadinya mau lusa kebetulan kamu malah mampir kesini. Jadi kangennya sedikit terobati." Ayah Shani tersenyum. Pembawaan yang sama antara anak dan ayah itu adalah sama-sama tenang.

"Kamu baik-baik aja?" Tanya Ayah Shani. Shani mengangguk tanpa suara, meredam sesak yang tiba-tiba menjalar ke seluruh tubuhnya. Sebenarnya Shani enggan untuk membahas hal yang sudah lalu namun jika bersangkutan dengan Boby maka Shani tak bisa tenang. Ia memilih untuk siap di maki jika itu kemungkinan terburuknya. Ia tahu tak etis menanyakan hal ini padahal ia sudah manjadi istri dari Vino, namun ia perlu tau kebenarannya. Shani gugup jika membawa pria lain dalam bahasannya.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang