2S. 15

1.3K 130 121
                                    

"Viiin...!" teriakan dengan nada lirih membuat Vino seketika berdiri dari tempat tidurnya. Langkahnya sedikit tergesa-gesa saat suara keran air terus saja menyala.

"Sayang, kamu baik-baik aja?" Teriak Vino dari arah luar, tangannya sedikit menggedor pintu kamar mandi yang terkunci.

"Sayang, buka pintunya!" Ketukan kecil berubah menjadi gedoran saat suara Shani terdengar lemah dan kembali muntah.

Vino dengan wajah paniknya segera berlari mencari kunci cadangan yang biasa ia simpan di laci mejanya. Tak perlu waktu lama Vino sudah berhasil menemukan kunci tersebut.

Dengan sekali dorongan pintu itu terbuka, terlihat Shani sedang duduk dengan wajah pucatnya. Sejak pagi tadi perut Shani terasa mual, mungkin karena efek kehamilan pada trimester pertama.

Vino tak banyak bicara, ia segera membopong tubuh lemah Shani. Meski ia berusaha untuk tenang namun wajah dan hatinya tak bisa ia bohongi. Vino sangat panik padahal kejadian ini sudah sering ia lihat.

"Tunggu ya, aku telepon dokter dulu." Tangan kanannya sibuk dengan ponsel sementara tangan kirinya mengusap dahi Shani yang berkeringat.

Dering telepon tersambung namun dokter yang Vino hubungi belum juga menjawabnya membuat Vino sedikit mengumpat kesal. "Sial, angkat dong."

Shani menyibak selimutnya lantas berlari ke arah kamar mandi, ia kembali memuntahkan sesuatu.

"Sayang," Vino ikut menyusul Shani dari belakang. Teleponnya sudah tak ia hiraukan, sekarang fokusnya adalah Shani yang terus muntah karena mual.

Dengan sabar Vino memijit tengkuk Shani dengan pelan, merapikan rambut panjang Shani yang belum sempat di ikat.

"Vin," ucap Shani lemah. Tangannya masih berpegang pada wastafel sebagai penyangga tubuhnya.

"Aku disini, sayang. Kita ke dokter ya," Vino mengusap air pada bibir Shani, kemudian menggendongnya untuk kembali ke tempat tidur.

"Aku mau ditemenin." Ucap Shani mendekap tubuh Vino yang ikut berbaring di sebelahnya.

Semenjak kehamilannya mood Shani semakin berubah-ubah, kadang manja, kadang marah, emosinya tak menentu.

"Iya sayang, aku temenin. Aku izin berangkat jam sepuluh kok. Aku gak bisa libur hari ini, ada meeting penting sama pak Haris. Maaf ya." Shani mengangguk mengerti, mau bagaimana lagi Vino juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhannya.

"Aku gak mau bikinin kamu kopi lagi, aku mual sama aromanya, Vin. Terus parfum kamu ganti jangan pake yang itu, aku pusing sama baunya."

"Iya, sayang." Vino tersenyum sesekali mengecup rambut Shani.

"Udah, yang penting kamu istirahat ya. Nanti sore kita periksa kandungan kamu." Lengan kokoh itu merengkuh tubuh ringkih yang beberapa minggu ini kehilangan nafsu makannya karena mual.

Shani kembali terlelap dalam tidurnya, entah karena rasa mualnya hilang atau karena nyamannya pelukan Vino yang membuatnya cepat sekali masuk ke alam mimpi. Vino bangkit dari kasurnya dengan sangat hati-hati menuju arah balkon kemudian menutup sedikit tirai jendela agar laju angin tak begitu kencang.

Di tatapnya hamparan langit biru pagi ini, senyumnya berhamburan. Luka dihatinya perlahan menguar terbawa angin. Sedari awal Vino sudah berjanji pada dirinya sendiri jika ia akan membahagiakan Shani dengan caranya. Ia hanya akan bersabar, menutup mata juga telinga melihat perselingkuhan istrinya dengan Boby. Vino percaya jika itu hanyalah sekedar cinta sementara. Hubungan Shani dengan Boby tak di landasi dengan pondasi yang kokoh sejak awal, maka dari itu Vino sangat yakin pada hatinya, ketulusannya lambat laun akan memecah kerasnya obsesi Shani pada Boby.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang