2S. 5

1.8K 132 75
                                    

Sebuah wajah yang aku lihat setiap pagi dengan senyum yang aku nikmati selama beberapa pekan terakhir, seharusnya aku merasa cukup dengan semua yang aku punya. Tapi entah kenapa selalu ada ruang kosong yang tak mampu tersentuh. Seperti kabut yang tak bisa aku raba.

Boby, nama itu bertengger pada puncak tertinggi dari perasaanku. Nama yang masih bergetar pada nadi di kedua lenganku. Setiap hari dalam ruang-ruang redup dengan sejadah yang tergelar pada dini hari, saat semua doa bermuara dan Tuhan senantiasa mengabulkannya, aku terduduk mempertanyakan takdir. Kesalahan apa hingga Tuhan tidak menyatukan aku dan lelaki yang teramat aku cintai. Bagaimana bisa semesta tak mengizinkanku bahagia. Aku lelah dengan segala caramu, Tuhan.

"Morning sweet heart." Sapaan manis dari bibir Vino membuatku kembali kedunia nyata. Sejenak aku meninggalkan jejak masa lalu saat Vino berada di dekatku. Aku tersenyum hangat dengan memperlihatkan lesung pipiku.

"Morning, hari ini ke kantor?" Pertanyaanku tidak langsung di jawab oleh Vino, dia menatapku dengan wajah yang sulit aku mengerti. Ada luka dalam tatapannya, dan jelas akulah penyebabnya. Aku tau Vino masih kecewa dengan penolakanku semalam, dan kami berakhir dengan tak bertegur sapa. Vino menagih kewajibanku sebagai seorang istri, dia sedikit memaksaku dan aku yang sedang dalam suasana hati yang buruk enggan menanggapinya. Suara Shania yang sampai detik ini terekam jelas di memoriku hingga setiap kata yang Boby ucapkan kala itu selalu memancing sisi lainku yang gelap.

Aku tersentak saat Vino mengusap mataku yang sembab, tangan kekarnya menjamah setiap inci wajahku. "Kamu habis nangis?" Bukannya menjawabku, Vino malah memberiku pertanyaan.

Aku menggeleng lemah sembari tersenyum pasrah. Namun jawabanku tak membuatnya puas. Vino malah semakin mendekatkan tubuhnya padaku, tatapan Vino yang teduh menembus manik mataku. Aku membuang tatap ke langit-langit kamar dan Vino jelas tau aku sedang berbohong, tentu saja Vino tak membahas lebih jauh perihal semalam juga mataku ini. Aku menangisi Boby dalam diamku dan aku benci situasi ini. Dimana semua orang menempatkanku seolah-olah akulah penjahatnya.

"Hari ini aku mau ngajak kamu belanja, nonton, makan, sama..." Vino menjeda, hening sesaat kemudian dia tersenyum lagi ke arahku. Aku jadi ikut tersenyum melihat wajahnya yang jenaka.

"Apa ih." Kataku manja, aku menunggu apa yang ingin dia katakan meskipun sebenarnya aku sedang tidak ingin bermain tebak kata.

"Kita ngerayain ulang tahunnya kak Boby. Dia udah gak balik Jerman lagi, sekarang dia stay di Jakarta." Suara Vino rendah dan pelan, tak ada ekspresi apapun dalam intonasinya. Sejujurnya aku sangat terkejut dengan ucapan Vino mengenai kak Boby, bukannya kemaren lusa ia pamit untuk kembali ke Jerman. Lidahku terasa gatal ingin bertanya lebih namun ku urungkan, aku takut Vino akan curiga padaku.

"Kok? Bentar, kak Boby bukannya di Jerman ya?" Dengan sewajar mungkin aku menanggapi pembahasan kami pagi ini. Vino menyibakkan selimut kemudian duduk membelakangiku. Bisa ku lihat punggungnya yang tegap tanpa busana.

"I don't know, mungkin untuk suatu hal." Jawaban Vino terlalu dingin dan singkat, ia bahkan tidak melihatku sama sekali.

Aku selalu takut jika Vino mendiamiku, ia tak pernah marah namun diamnya Vino serasa mengerikan.

"Sayang," Panggilku dengan suara sedikit berat bercampur serak, aku merangkak menyentuh punggungnya. Vino tak bereaksi apapun, biasanya dengan cepat dia akan balik menggodaku. Apakah semalam ia mendengar percakapanku dengan Boby? Aku rasa tidak ada yang salah denganku toh aku aku hanya mengucapkan selamat ulang tahun, tidak lebih.

Aku berdiri dengan lutut yang bertumpu pada kasur, bergelayut manja pada bahunya yang lebar. Aku tau marahnya Vino karena kejadian semalam. Maka pagi ini aku harus merayunya. Urusan kak Boby sudah jelas aku akan bertemu dengannya, biar ku tanyakan sendiri pada orangnya nanti.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang