2S. 13

1.1K 125 131
                                    

*Play the song biar makin emosi*

Merelakanmu memang tak mudah, memaafkanmu juga terasa sulit. Aku bahkan lelah menyisir banyak pertanyaan yang terhimpun dalam kepala. Perihal hatimu yang terbagi, dan cintaku yang kamu khianati. Suaraku tak lagi lantang mengatakan jika kamu satu-satunya yang diam dan menetap di relung kalbu. Aku pernah keliru melambungkan harap tinggi-tinggi pada lelaki yang tak tau diri, sampai akhirnya aku terluka untuk kesekian kali.

Di detik saat aku menyerah, yang bisa ku lakukan hanya menabahkan segala luka yang semakin parah, berharap kamu pergi dan mati. Namun nyatanya kamu semakin hidup menghantui setiap detik yang ku lalui.

Dalam diam aku merayu Tuhan meminta jawaban atas pertanyaan yang aku sendiri tidak tau jawabannya, meminta kepastian untuk keraguanku. Tak ada satupun yang ingin berada dalam kebimbangan. Berdiri di persimpangan memilih jalan antara kiri dan kanan seperti halnya menerima Boby kembali dengan kemungkinan yang sama atau melepaskannya.

Dua bulan pasca pertengkaran kami, Boby sibuk mengumpulkan puing-puing hatiku yang patah, membangun kembali jembatan kepercayaan yang ia rusak dan juga menata masa depan untuk meyakinkanku bahwa dengannya lah hidupku akan bahagia.

Lucu memang, semesta sering membuatku kecewa namun bak pepatah selalu ada pelangi setelah hujan. Haruskan aku percaya?

"Sayang, papa nyuruh ke rumah buat ngomongin pesta pernikahan kita. Semuanya sudah hampir selesai. Ya... sekitar 70% lah." Ucap Boby membetulkan kacamatanya. Lenganya yang berotot merangkul pundakku, merapatkan jarak di antara kami.

"Malam, kan? Siang ini aku ada meeting sama papa."

"Iya, sayang. Sekalian makan malam di rumah ya." Aku mengangguk sembari tersenyum memeluk pinggangnya yang gagah.

Boby berkunjung ke kantorku pagi ini, untuk sekedar menyesap kopi dengan aroma yang sama. Duduk berdua membahas hal indah yang ia tawarkan padaku. Sepagi ini kah aku menggantungkan harap pada secangkir kopi?

"Aku pergi dulu ya. Hari ini mau ketemu klien dulu bentar. Kalo sempet nanti kita makan siang bareng, kalo gak sempet aku sempet-sempetin deh."

"Iya." Aku terkekeh sembari merapikan kemeja putih serta dasi berwarna hitam yang Boby pakai.

"Aku sayang kamu." Ucapnya dengan lugas. Tak lupa kecupan gemas pada pipi kiriku, Boby tertawa kecil hingga lesung di pipinya terlihat. Lelaki itu bergegas keluar dengan langkahnya yang riang.

Selang berapa menit ketukan pada pintu ruanganku terdengar, disusul oleh wajah yang menyembul dengan cengiran khasnya.

"Morning sweet heart, nih tugas lo hari ini. Tolong jangan di bantah, ini tugas langsung dari pak Edwin bokap lo." Gio meletakan beberapa lembar kertas di mejaku. Nama perusahaan juga klien yang harus aku temui hari ini.

"Bukannya hari ini ada meeting?" Tanyaku pada Gio yang masih berdiri dengan kertas di tangannya.

"Meeting di undur, klien ini lebih penting. So, lo gak boleh bertingkah dengan alasan telat karena macet atau mampir dulu ke rumah si bang Boy. Ngerti lo?"

"Iye, bawel lo kayak emak-emak lagi PMS."

"Sembarangan lo, gue udah dua bulan ya. Jangan sampai keguguran lagi, capek bikinnya." Aku terbahak mendengar omongan gila dari temanku ini.

"Yaudah gue mau ketemu bu Ishika dulu. Dah sayang." Gio berlalu dari ruanganku.

Aku membuka berkas yang Gio berikan padaku. "Hotel Alexandria." Gumamku pelan. Sepertinya aku harus memberitahu Boby jika siang nanti aku tidak bisa makan dengannya. Aku harus bersiap-siap menemui klienku.

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang