2S. 12

1K 120 129
                                    

Alarm dari ponsel Shania terus berdering dengan nyaring memaksa tubuhnya untuk bangun dari kasurnya yang nyaman, matanya menyipit untuk melihat jam pada ponselnya. Saat layar handphonenya menunjukan pukul 17:15 Shania langsung berlari ke luar kamar dengan langkah tergesa.

"Boby! bangun. Anterin aku ke kantor. Boby, sayang.." Gedoran pada pintu apartemennya terhenti ketika Shania menyadari jika Boby sudah tidak tinggal bersamanya lagi. Shania tercekat dengan tatapan nanar, membungkus emosi sepagi ini dengan balutan tangis yang berusaha ia tepis.

Shania membuka kamar yang biasa Boby tempati, harum ruangan bercampur dengan sisa parfum Boby masih melekat memenuhi kamar ini. Shania terbiasa melihatnya setiap pagi, membangunkannya setiap kali dirinya terlambat ke kantor, menggedor dan memaksanya untuk membuka pintu hanya sekedar melihat wajah yang akan ia rindukan seharian.

Langkah lemah Shania terhenti di tepi ranjang mengusap bantal yang biasa Boby pakai setiap malam dalam tidurnya. Matanya terasa perih, setiap sudut penuh oleh bayangan Boby. Sesak kembali menyeruak, tak ada lagi sosoknya yang selalu mengusap lembut puncak kepalanya, sudah tak terdengar lagi suaranya yang selalu bertanya tentang hari yang mereka lewati. Segala yang pernah ada lenyap bersama rindu yang tak pernah terbalas.

Shania kembali menangis, memeluk satu-satunya yang tertinggal di kamar ini, yaitu kenangan.

Suara pintu kamar terbuka, Yona berjalan mendekat, menatap Shania yang duduk membelakanginya.

"Shan," Yona menggosokan tangannya pada pundak Shania.

"Gu-gue kangen Boby, Yon." Ucapnya terbata. Mendengar kata-kata itu cukup membuat Yona mengerti perasaan hancur yang sekarang tergambar jelas pada seluruh wajah Shania.

++++

Keringat membasah mengguyur tubuh Kinan. Sudah berapa kali ia terjatuh di tempat yang sama, kakinya belum cukup kuat untuk berjalan tanpa alat bantu, karena secara medis jarang ada orang yang sembuh normal pasca cedera otak. Sejak dua jam lalu Kinan tak berhenti berdiri di atas matras untuk melatih otot kakinya, berulang-ulang ia bangkit namun hasilnya masih saja sulit untuk sekedar menggerakan kaki kanannya.

"Istirahat dulu." Suara Veranda menyapa. Tangannya terulur untuk mengelap butiran keringat pada wajah juga lengan suaminya namun Kinan menepisnya dengan kasar.

"Aku bisa sendiri." Ketus Kinan. Veranda sudah tidak kaget dengan sikap Kinan yang belakangan ini cepat sekali marah. Beberapa kali Veranda di bentak, juga di perlakukan dengan kasar. Namun Veranda tetaplah Veranda dengan segala kelemah-lembutannya.

Veranda menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan, air matanya jatuh meski hanya setetes, Veranda lelah dengan masalah yang hanya ia yang tau.

Kinan duduk di balkon kamarnya, menyesap rokok dengan secangkir kopi di mejanya. Di sandarkan kedua tongkatnya tepat di samping kursi, pandangannya jauh menerawang pada hamparan langit biru pagi ini.

"Kinan, maaf aku gak bisa jadi dokter pendamping kamu lagi dalam melakukan sesi terapi. Kamu akan di pantau langsung oleh dokter Arlin."

"Kenapa? Kenapa kamu ninggalin aku lagi?"

"Tolong, Kinan. Kita udah punya kehidupan masing-masing. Veranda istri yang baik, jangan pernah kamu nyakitin dia. Buktiin kalau kamu udah berubah."

"Kamu jaga perasaan Veranda tapi kamu datang ngancurin aku lagi."

"Kinan, perasaan aku ke kamu sudah hilang. Ada perasaan yang harus ku jaga, begitupun dengan kamu. Maaf."

For 2S to B Continued (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang