Heart of Darkness - 3

3.5K 416 22
                                    


Nara mengerjapkan mata beberapa kali, dia terbangun dari tidurnya. Badanya terasa sangat ringan. Mungkin dia sudah terlelap selama beberapa jam. Alasan apapun itu Nara menyukai kondisinya saat ini. Si gadis meregangkan otot-otot yang kaku, setelah cukup puas Nara pun bangun kemudian turun dari tempat tidur.

Nara tak mengetahui di mana dirinya sekarang berada. Kamar yang sedang didiami tampak serupa ruangan untuk anak-anak. Ranjangnya lumayan besar dengan boneka jerapah dari segala ukuran mengelilingi. Nara yakin pernah melihat area ini sebelumnya entah kapan.

Nara butuh jawaban atas rasa penasarannya tersebut. Di manakah dirinya sekarang?

Kenapa tidak ada seorang pun bersamanya?

Nara mulai melangkahkan kaki perlahan untuk menjawab pertanyaan dalam benak. Ujung kakinya yang seharusnya menyentuh dinginnya lantai marmer itu. Tetapi, ia justru merasa sedang berjalan beralaskan udara. Hanya ada desir angin yang menyentuh kulit. Tanpa satu pun beban dalam pijakannya.

Nara meraba paras. Ada yang berbeda. Raganya jauh lebih kecil daripada sebelumnya.

Gadis itu menuju cermin untuk melihat penampilannya sebelum menyimpulkan. Ia mematut diri, menatap bayangannya, lalu Nara pun terkejut.

Bukan Nara dewasa yang berada di sana, namun gadis kecil bersurai panjang. Rambutnya diikat dua menggunakan pita jerapah, sosok itu mengenakan piama yang serupa baju rumah sakit. Nara mundur beberapa langkah. Keterkejutannya berganti menjadi rasa rindu yang teramat dalam saat pintu kamarnya terbuka, seorang gadis yang dikenali Nara masuk.

“Baby Jung, apa kau sudah bangun?” celetuk seorang gadis yang teramat rupawan. Surainya tergerai lurus berwarna hitam, polesan liptint tipis merah muda yang senada dengan warna pipi, tubuhnya langsing dibalut gaun biru yang cantik.
Dia adalah Jung Ahra dalam ingatan Nara. Jung Ahra sebelum kecelakaan itu terjadi. Gadis cantik penuh kasih yang menjadikan adiknya sebagai prioritas.

“Kakak,” ucap Nara pelan.

Ahra tersenyum lebar. “Kakak membawakan sesuatu untukmu,” kata si gadis gembira. Ia menunjukkan sebuket bunga mawar yang indah pada si adik kecil. “Kau kan ingin tahu tekstur kelopak mawar itu seperti apa, jadi kakak membelinya untukmu. Kakak menghilangkan durinya. Jadi, kau bisa melukisnya dengan benar sekarang,” lanjut Ahra sembari menyerahkan bunga itu.

Nara menerima buket dari Ahra. Si gadis mencium wangi mawar. Ia tersenyum. Nara tersentuh sebab kakaknya membelikan ini agar Nara bisa menghapus kebosanannya di rumah sakit dengan melukis.

“Aku merindukan kakak,” gumam Nara, lalu menghambur untuk memeluk saudarinya.

Ahra menarik ujung bibir. Ia berlutut agar tinggi mereka dapat sejajar. “Gadis cantik, kakak sangat menyangimu. Semua orang berkata jika kita sangat mirip, meskipun …” Ahra menggantung ucapannya. Ia membelai pipi sang adik.

Nara menyadari ada nada duka dalam suara Ahra. Seolah sang kakak baru saja diberi pil yang sangat pahit. Nara pun ingin menghiburnya.

Tangan Nara menggenggam jari-jari milik Ahra. Dia menatap pupil kakaknya yang berwarna cokelat muda. Gadis itu menyukai kenangan kali ini, di mana sang kakak tak menyakitinya. Hanya ada kelembutan yang memang Nara rindukan sedari dulu.

“Tentu saja Nara mirip Kakak Ahra karena kita memang saudara,” bisik Nara. Satu kalimat penuh kesungguhan meluncur dari bibir Nara.

Tatapan Ahra yang penuh kasih pun seolah luntur. Gadis itu mengganti sayangnya menjadi kebencian yang membara. Ia seolah baru saja dibakar oleh api yang dinyalakan Nara.

“Apa yang kau katakan, Nara? Kau dan aku dilahirkan oleh wanita yang berbeda,” tandas Ahra, vokalnya tak lagi sama.

Kelembutan yang ditawarkan sebelumnya berubah menjadi sesuatu yang kasar ketika tangan Ahra yang berada di pipi Nara menarik surai si adik dengan keras.
Nara pun menjerit.

“Apa kau ingin mengejekku karena aku berasal dari rahim wanita rendahan yang dihamili oleh ayah kita?” Ahra menatap Nara yang memberontak kesakitan. “Aku bahkan harus menggantikanmu untuk menjalani semua ketololan itu,” tambahnya.

Nara mencoba memberontak. Ia memukul tangan saudarinya agar dibebaskan dari rasa sakit. Nara berusah melolong, namun suaranya terlanjur habis.

Lantaran melepaskan siksaan, Ahra justru tertawa melihat adiknya menderita. Gadis cantik yang tadi berada di sana seolah berganti menjadi monster.

Tiba-tiba pintu itu terbuka lagi, Han Haera memasuki ruangan. Wanita itu sangat terkejut menyaksikan apa yang berada di hadapannya. Ibu kandung Nara segera menarik Ahra agar tidak lagi menyentuh putrinya.

“Apa yang kau lakukan pada adikmu?” tanya Haera intonasinya tinggi. Ia sangat marah.

“Dia bukan adikku. Aku tidak ingin lagi berpura-pura menyayanginya hanya untuk membuatnya bersemangat hidup. Aku tak ingin memenuhi permintaanmu karena kau bukan ibuku. Kau tak pernah menganggapku sebagai anakmu

Han Haera menampar Ahra. Tangannya bergetar setelah sadar dengan apa yang baru saja dilakukannya pada gadis mudayang dulu dibesarkannya seperti anaknya sendiri. Han Haera terlampau terkejut dengan semua adegan dan enggan menyangka bahwa Ahra yang lembut bersikap demikian.

“Apa ibu menamparku?” tanya Ahra sedih. Telapak tangannya memegang pipinya yang merah. “Ibu akan membalas ini dengan kehilangan semuanya. Aku tidak akan membiarkan kalian bahagia!” bentak Ahra, lalu pergi dari ruangan itu.

Nara masih berada di sana. Ia adalah saksi hidup atas kejadian tersebut. Si gadis hanya bungkam. Nara dipukul telak oleh fakta yang baru saja didengarnya.

Jung Ahra tidak dilahirkan oleh ibu, batinnya terus mengulang.

Kenyataan tersebut terlampau pahit.

Nara pun ikut terluka.

Gadis itu mulai menangis ketika mendengar suara sedu sedan ibunya.

Tangisan penyesalan yang menyayat hati dibisikkan oleh keduanya

-oOo-

[Sehun Fanfiction] Dear Husband - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang