13

48 9 1
                                    

Kamar yang mirip dengan tempat penampungan, atau bisa di bilang seperti kapal pecah. Jendela kelambu yang tertutup rapat tanpa ada niat untuk membukanya. Si pemilik kamar, Jeongin. Masih dengan posisinya berbaring dengan mata sembab, menatap ke depan dengan kosong pikiran. Ia tak tahu tentang masa depannya lagi. Kelas pagi ia abaikan. Tak perduli dengan tugas yang menumpuk. Hati dan pikirannya masih belum sinkron karna insiden kemarin.

Dengan hidung masih menyedot cairan kental agar tak jatuh, ia turun dari kasur. Tenggorokannya sangat kering. Ia masih sayang tubuh, ngomong-ngomong. Hidupnya masih panjang, ia tak boleh menyerah. Ingat saat kedua orang tuanya meninggal, ibunya berpesan agar tetap melanjutkan hidup. Manis pahit biarkan jadi jalan cerita hidupnya. Semua akan ada masa indah di waktunya.

Saat membuka pintu kamar, ia dikejutkan dengan sosok yang tak ter duga berdiri di depan kamarnya. Jean dengan setelan serba hitam, membawa bungkus plastik hitam. Lelaki tinggi itu terlihat kebingungan antara harus mengetuk atau tidak. Namun saat keluar makhluk yang ada didalamnya, ia menjadi khawatir. Jeongin terlihat buruk.

Lelaki rubah itu melirik sedikit ke arah Jean, kemudian berjalan melewatinya. Mengabaikan Jean yang ingin mengatakan sesuatu.

"Aku ikut bersedih melihatmu begini"
Tangannya meletakkan sebungkus plastik hitam di meja dapur.

"Dari mana kamu bisa masuk kemari ?" Jeongin menutup pintu lemari pendingin dengan sedikit keras.

"Lia, semalam menelfonku memakai ponselmu. Bersyukur dia membuka blokiran nomorku." Senyum hangat terlihat di wajah keren Jean.

"Kamu menurutinya ? Gadis sok tau itu kamu turuti ?" Jeongin mendelik.

"Lia khawatir padamu. Juga ada sedikit masalah menimpanya, kurasa."

Jeongin acuh, berjalan kembali menuju kamarnya.

"Jeongin-i, jangan cemas soal penipu itu."

Deg deg

Panggilan manis itu, Jeongin terngingat seseorang sekarang. Lembut sekali. Si mata rubah itu suka, suka mendengar seseorang memanggilnya begitu. Lia saja tidak pernah.

Tapi, apa katanya ? Jangan cemas ?

Jeongin membalikkan badan.

"Jangan cemas ? Tau apa kamu soal orang yang menipuku ?"

Tidak mungkin kan.

"Tunggu, apa kamu yang..." Jeongin sedikit menggantungkan kalimatnya. Ia tak yakin dengan dugaannya.

Jean merogoh saku celananya untuk mengambil selembar kain tipis.

"Sejujurnya aku benci melihatmu begini. Hatiku ikut sakit. Aku tak tega. Dengan tanpa izin aku membantumu" Jean menyeka air mata yang kembali jatuh di pipi Jeongin.

"Berhenti mengkhawatirkanku." Suara Jeongin terdengar dalam.

"Aku tidak butuh bantuanmu dan.. bisakah tidak bersikap lembut seperti ini ?."
Tangannya menepis sapu tangan milik Jean.

"Jeongin-i"

Panggilan itu,

"Pergi" lelaki rubah itu menundukkan kepalanya.

"In-nie"

Apalagi ini, kenapa sangat lembut.

"AKU BILANG PERGI" teriak Jeongin.

Jean sedikit terkejut. Tapi ia sadar, ini bukan waktu yang baik untuk bicara dengan lelaki manis itu. Hatinya sedang kacau, belum membaik.

"Aku akan pergi, tapi jaga dirimu baik-baik" dengan senyuman, Jean melangkah pergi keluar rumah Jeongin.

••UNTITLE [Lee know] •• (Finished)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang