"Di mana Andinn!?" Tasya nyaris gila sekarang karena ia tak kunjung menemukan di mana keberadaan adik bungsu nya.
"Dikta! Lihat Andin gak?" Serbu Tasya tiba-tiba kepada Dikta yang sedang sibuk main game online di ruang tengah.
Dikta hanya mengangkat bahunya dan bergumam, "Mana Dikta tahu."
"Ih!" Percuma saja Tasya mencak-mencak sekarang, karena nyawanya harus segera diselamatkan dari Adelina yang akan mengamuk besar-besaran jika sekembalinya ia dari pasar ia tidak mendapati Andin si bungsu di dalam rumah.
Buru-buru ia lari ke luar pagar, Tasya masih celingukan sembari menggigit kuku cemas.
Aduh harus ngapain ini! Mati gaya akuu! Mampus dah!
"Buruan Kak, kita cari Andin segera." Dikta berkata sembari mengeluarkan sepedanya dari garasi. Tasya mengangguk lalu buru-buru mengambil kerudungnya.
"Sekarang, Dek!" Perintah Tasya saat dirinya sudah bertengger manis di boncengan Dikta sembari berdiri menapaki sanggahan sepeda dengan tangan yang memegangi kedua pundak adiknya.
"Kakak kan punya sepeda sendiri," kata Dikta lalu mendengus malas. Matahari hanya beberapa jengkal di atas kepala mereka, dan Tasya malah ingin dibonceng? Bisa mati muda Dikta kalau begitu.
"Ayolah, Dik! Gak ada waktu lagi. Udah buruan jalan! Nyawa kita lagi dipertaruhkan inii!" Tasya menepuk pundak Dikta berkali-kali, membuat Dikta akhirnya menyerah dengan kekukuhan Tasya.
Pedal sepeda Dikta kayuh tanpa arah, sedangkan Tasya menajamkan indra penglihatannya, kalau-kalau Andin tiba-tiba nongol.
"Epul!" Panggil Tasya kepada seorang lelaki seusia Dikta. Dengan inisiatif, Dikta memberhentikan sepedanya tepat di depan Epul.
"Lihat adik gue?" Tanya Dikta.
"Ohh, yang rambutnya keriting itu, ya?" Tanya balik Epul memastikan, yang lantas Tasya hadiahi anggukan beberapa kali.
"Tadi sih lihat di kedai Bu Ina." Mendengar itu, mulut Tasya menganga lebar. Yang benar saja!? Kedai Bu Ina itu di blok sebelah. Jauh banget si Andin main!
"Buruan Dik, buruan!" Dikta mengangguk sekali. "Makasih, ya," ucapnya kepada Epul dan dibalas anggukan kepala. Lalu sepeda itu meluncur ke tempat yang dimaksud Epul tadi.
"Waduh!" Gumam Tasya saat sepeda yang ia tumpangi berhenti di sebuah kedai permen yang kini terlihat ramai sekali. Bahkan, antriannya kini membeludak sampai ke luar.
Tasya panik! Melihat manusia sebanyak itu, pikirannya jadi ke mana-mana. Ish! Andin kecilnya itu nyempil di mana kalau begini?
"Mampus, Dik!" Dikta hanya mendengus mendengar keraguan dalam suara kakaknya. Melihat tempat seramai itu, Dikta sendiri bergidik ngeri. Dia benci dengan keramaian seperti ini, mana cuaca lagi mendukung banget buat penghitaman kulit.
"Kakak aja yang masuk," usul Dikta.
"Bareng-bareng lah! Masa gitu!" Tasya memberenggut.
"Tepis aja Kak gengsinya." Tasya menggeram mendengar saran dari adiknya. Tahu saja dia kalau Tasya lagi gugup-gugupnya.
"Kakak gak mau kelihatan kayak orang linglung di keramaian gitu. Kalau misalnya Andinnya malah gak ada, terus gimana? Kakak mampir doang gitu? Gak jelas!" Tasya menggigil membayangkan itu semua.
Lagi-lagi, Dikta mendengus. Punya kakak sebegini gengsiannya benar-benar bikin dirinya pusing!
"Terus? Kakak mau nyerahin diri Kakak buat dijadiin tempeyek sama Mama?" Jelas saja Tasya menolak dengan sekeras-kerasnya! Fyuh, mau bagaimana lagi? Tasya harus rela mendamprat gengsi nya cepat-cepat dan masuk ke dalam kedai untuk memeriksa keberadaan adik kecilnya.
*****
Rasa-rasanya, Tasya ingin nangis darah sekarang juga!
Gusti, mengapa beginiii??
Saking kesalnya, punggung Dikta ia jadikan sasaran keganasannya, memukul-mukulnya gemas dengan sesekali memberi cubitan di sana.
"Kakak! Sakit ih! Mau kita jatuh di sini?" Dikta juga sama frustasi, tapi kalau begini siksanya menjadi triple. Perasaan campur aduk menghadapi Mamanya, cemas akan keberadaan Adiknya, dan sakit karena penyiksaan oleh Kakaknya ini.
Tadi, Tasya sudah memberanikan diri memasuki kedai Bu Ina, mencarinya ke sana ke mari sambil menelan tatapan beberapa orang yang meliriknya, hanya melirik. Sampai tak lama seorang pegawai menghampirinya, menanyakan apa yang sedang Tasya lakukan. Wajah Tasya sudah memerah malu waktu itu, ia lalu menanyakan apakah Adiknya tadi ke tempat itu? Dan jawabannya mampu melemaskan segala persendian yang ada di tubuh Tasya. Katanya, balita yang Tasya sebutkan ciri-cirinya itu pergi bersama seorang pria.
Masa Andin diculik?
GAK MUNGKIN!
Eh, tapi mungkin saja kan, mengingat Andin yang sampai sekarang belum mereka dapati.
Hingga bosehan Dikta pada pedal sepeda berhenti di depan seorang pria yang menggendong balita yang mirip dengan Andin di pangkuannya.
"HUAA! ANDIN!? INI BENERAN ANDIN!?" Teriak Tasya histeris sembari turun dari boncengan Dikta.
Ternyata bukan hanya mirip, itu memang benar-benar Andin yang berada di pangkuan Biru, dan Tasya membelalakan matanya dua kali lipat dari biasanya karena melihat itu.
🐊🐊
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Future
Teen FictionBagaimana jika kehidupanmu dikelilingi oleh orang-orang yang menyebalkan? Yang setiap harinya berhasil membuatmu mencak-mencak bak orang gila? Lebih parahnya, saat kamu menyadari bahwa ternyata kamu lah sumbu menyebalkan itu. Jadi, sebenarnya bukan...