"HUAA! ANDIN!? INI BENERAN ANDIN!?" Teriak Tasya histeris sembari turun dari boncengan Dikta.
Ternyata bukan hanya mirip, itu memang benar-benar Andin yang berada di pangkuan Biru, dan Tasya membelalakan matanya dua kali lipat dari biasanya karena melihat itu.
*****
Fitnah lebih kejam daripada pembunuhan, maka luangkan waktumu untuk mendengar kenyataannya sebelum menilai baik atau buruknya. Itu pula yang sedang dilakukan Tasya, duduk di hadapan Biru sembari menopang dagu, menunggu lelaki itu untuk mulai menjelaskan kejadian yang sebenarnya.
"Saya bertemu dengan Andin di kedai Bu Ina, dia sendirian di dekat pintu masuk. Kebetulan sekali, saya sedang mengantar adik saya ke tempat itu," kata Biru. "sampai saya dan adik mau balik, adik kamu masih diam di situ, dan mulai menangis. Pas saya tanya di mana rumahnya, dia malah ngajak saya jalan ke arah sini. Saya tidak tahu Andin ini adik kamu."
Tasya memicingkan matanya mendengar klarifikasi dari lelaki di hadapannya ini. Sebelah halisnya terangkat, lalu ia bertanya, "Kalau begitu, di mana adik Kakak? Aku gak lihat dia sama kalian dari awal."
"Adik saya pulang duluan, abisnya dia mau antarkan jelly ke rumah sepupu," jawab Biru tenang.
"Fyuh! Kalau gitu, aku ucapin makasih banyak banyak buat Kakak. Tasya kira tadi, Andin ilang." Tasya mendengus, segera menepis keraguan-keraguan di dalam pikirannya.
"Alamak!" Pekik Tasya tiba-tiba.
"Ada apa?" Tanya Biru.
"Sebelum pergi, Mama mesen pas dia balik, Andin harus sudah kinclong-clong."
"Lalu, masalahnya apa?" Biru mengernyit bingung.
"Aku bingung. Soalnya kalau Mama mandiin Andin, aku jarang merhatiin," ucap Tasya yang ia akhiri dengan cengiran khasnya.
Dengan sedikit ragu, Biru berkata, "Saya bisa bantu."
*****
Tasya menyelimuti tubuh mungil Andin menggunakan handuk. Ia lalu menegakkan tubuhnya sembari meregangkan otot-otot tubuh yang terasa kaku.
Pretek!
Trek-trek!
Tasya terhenyak mendengar bunyi itu. Seketika ia menjelma menjadi patung dalam beberapa detik.
Jangan-jangan tulang-tulang aku potong...
"Hahaha." Tasya tertarik dari lamunannya ke duni nyata saat mendengar tawa ringan seseorang.
"Tulang kamu tidak akan patah," kata Biru. "palingan remuk."
Tasya mendelik sebal mendengar lanjutan ucapan Biru itu.
Ni orang hobi banget deh ngetawain Tasya.
"Eh, aduh! Baju Kakak jadi basah deh," sesal Tasya memandang baju biru tua milik Biru yang kini basah.
Tatapan Biru beralih pada bajunya, lalu senyum manis tercetak indah di wajahnya. "Tidak apa-apa, baju saya masih ada."
"Hmm, saya pulang, ya?"
"Eh, iya-iya!" Jawab Tasya sembari mengangguk cepat. "Terimakasih banyak ya, Kak. Maaf Kakak jadi repot."
Biru menganggukan kepalanya sambil tersenyum. "Assalamualaikum," salamnya, lalu beranjak menuju pintu.
*****
Tasya sedang berbaring di atas kasurnya, menelaah apa yang terjadi hari ini.
"Dua kali aku mikir Andin diculik dan akhirnya dia ada sama cowok." Tasya berguling ke samping, memeluk erat guling kesayangannya.
"Pertama Ezar," bisiknya pelan kepada udara kosong di hadapannya. Ia tidak bisa lupa, bahwa itulah yang menjadi awal dari percekcokan mereka. Ezar yang pertama kali Tasya kenal sebagai pria yang cuek, bertransformasi menjadi pria yang galak dan jahil.
"Kedua ya ini, Kak Biru."
Tok! Tok! Tok!
"Kak?" Panggilan dari luar kamar itu terdengar setelah ketukan pintu tiga kali.
"Pintu gak Tasya kunci, masuk aja, Ma."
Ceklek!
Tasya bangkit dari rebahan, dan segera mendudukan tubuhnya.
"Gimana tadi? Andin gak nakal seperti biasanya, kan?" Tanya Adelina sembari menjatuhkan bokongnya di sisi kasur.
Nakalnya membimbing aku ketemu jodoh, Ma.
"Enggak kok, aman!" Jawab Tasya dengan senyuman lebar.
"Kalo kamu ada apa-apa, cerita sama Mama. Nanti kita bisa cari solusinya bareng-bareng."
"Iya, Ma."
"Ngomong-ngomong, apa kabar pacar kamu sekarang?" Tasya mematung. Pacar? Sejak kapan dirinya melepas lajang?
"Pa-pacar? Aku gak punya pacar, Ma," jawab Tasya dengan kedua alis yang merapat.
Adelina memicingkan mata mendengar pernyataan itu. "Terus yang waktu itu jemput kamu dan izin ajak kamu ke rumahnya itu siapa?"
"Maksud Mama--"
"Ah iya! Anaknya Luna, kan? Siapa sih namanya, Zeri? Razer? Zare? Eh?"
"Ezar?" Tanya Tasya ragu.
"Nah! Ezar iya, yang itu," kata Adelina sembari menjentikkan jari telunjuknya.
"Itu mah bukan siapa--"
"Dia ngaku sebagai pacarnya Tasya kemarin."
Entah angin dari mana, pipi Tasya tiba-tiba saja bersemu, hampir dengan tidak tahu malunya menutupi seluruh permukaan pipi tembam Tasya yang lebih mirip dengan kue bakpao.
"Hahaha! Sudah Kak, gak usah malu-malu, mama bisa ngerti kok, kan mama juga pernah muda. Tapi ingat, sewajarnya aja kalo pacaran, jangan berlebihan!" Ucap Adelina mewanti-wanti. Sedangkan Tasya, ia masih tertegun.
"Tapi Ma--"
"Sekarang, lebih baik kamu istirahat, tidur. Besok kan sekolah, harus berangkat pagi." Adelina mengusap kepala putrinya dengan penuh kasih sayang. Ia tersenyum, setelahnya bangkit dan keluar dari kamar Tasya.
🐊🐊
APASI? AKU INI NULIS APAA?
![](https://img.wattpad.com/cover/196103181-288-k18443.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Future
Teen FictionBagaimana jika kehidupanmu dikelilingi oleh orang-orang yang menyebalkan? Yang setiap harinya berhasil membuatmu mencak-mencak bak orang gila? Lebih parahnya, saat kamu menyadari bahwa ternyata kamu lah sumbu menyebalkan itu. Jadi, sebenarnya bukan...