Badut

6 2 0
                                    

Tasya menatap tajam sekitarnya, matanya sedari tadi dengan lincah celingak-celinguk awas. Setelah merasa aman, ia pun mendengus lega. Tasya duduk sendiri di bangku panjang di pinggir rumah neneknya sembari menilik arsitektur masjid yang berdiri beberapa puluh meter di depannya, terlihat gaya dengan corak Eropa-klasik. Diam-diam tangannya bergerak mengeluarkan sebungkus ice cream coklat dari plastik merah yang sedari tadi ia tenteng.

Menatapnya dengan berbinar tidak membuatnya kenyang, sehingga Tasya pun membuka bungkus itu.

"Hah?" Tasya ternganga saat melihat ice cream yang ia taruh di lemari es milik neneknya satu minggu yang lalu kini entah berwujud bagaimana, abstrak soalnya.

"Gagangnya mana ini?" Tasya menggaruk pipinya yang tidak gatal.

Keadaan ice cream nya itu sungguh mengerikan menurutnya. Padahal, lebih mengerikan mana dengan tampilannya yang kini mirip orang gila? Baju tidurnya dipakai terbalik dengan kerudung blusnya yang miring. Belum lagi, air liur yang mengering di sudut bibirnya walaupun terlihat samar. Kentara sekali bahwa ia tidak cuci muka terlebih dahulu.

Mulutnya tak henti melahap ice cream yang mulai mencair ketika terpapar sinar mentari di pagi hari ini. Sesekali matanya berkeliling jaga-jaga jika siluet adiknya muncul tiba-tiba.

"Kamu sedang apa?" Seseorang bertanya yang reflek membuat Tasya menoleh.

"Astaghfirullah!" Teriak kedua orang itu bersamaan. Tasya yang kaget melihat Biru ada di situ, dan Biru yang kaget melihat tampilan Tasya yang terkesan...mengerikan!

"Eh?" Tasya lantas membalikkan wajahnya lagi dan menutupnya menggunakan plastik merah di depannya.

"Jangan mendekat! Tasya lagi kayak badut sekarang!" Cegah Tasya saat Biru melangkah mendekatinya.

Terasa, Biru menyentuh jilbabnya. "Kerudung kamu kelipet," ucapnya pelan.

"Eh, makasih." Dengan bodoh, Tasya berbalik membuat Biru susah payah menahan tawanya.

"Eh apa?" Tanya Tasya polos.

"Maaf, tapi itu belepotan banget. Kerudung kamu juga miring, sama baju kamu itu terbalik," kata Biru yang akhirnya terkekeh juga.

"Ha?" Tasya lantas menunduk untuk melihat style nya sekarang.

"Ketawa ajalah. Tasya juga pengen ketawa ngelihatnya," kata Tasya tersenyum geli. Bagaimana lagi? Memang tampilannya sekarang ini seperti badut. Belum lagi ia bingung harus mencari alibi apa. Lalu dengan lepas, Biru tertawa begitu saja. Tawa yang terdengar renyah dan ringan, hampir saja membuat Tasya terpana.

Astaghfirullah.

Tasya buru-buru memalingkan wajah.

"Aduh, saya malah jadi olahraga wajah pagi-pagi gini." Biru menampilkan sederet gigi rapinya.

"Eh, iya gapapa. Kalau Tasya di posisi Kakak malah keknya bakal ketawa sampai jungkir balik ngeliat ada badut pagi-pagi berkeliaran makan ice cream gini." Padahal Tasya berucap datar dan biasa saja. Namun Biru malah melanjutkan tawanya yang sempat reda tadi membuat Tasya tak habis pikir melihatnya.

Humornya receh sekali.

"Humor saya ya ampun..."

"Receh banget, ya? Kalau Tasya sih humornya jelas dolar."

"Gak aman ini, rahang saya pegel banget ketawa terus. Kalau begitu, saya duluan," ucap Biru mengakhiri tawanya dan berlalu.

Menatap kepergian Biru, Tasya mencebik jengkel. "Siapa juga yang nyuruh ngetawain Tasya," gerutunya sebal bal bal maksimal.

"Eh, tadi dia ketawa? Bobrok banget deh," ujar Tasya, lalu ia terkekeh. Mengedikkan bahu dan kembali fokus memakan ice cream nya yang mulai mencair.

Tasya kembali duduk di bangku panjang. Ice cream nya sudah habis. Lalu teringat sebungkus kue lapis kecil yang ia selipkan di dalam plastik.

Dengan semangat yang kembali menggelora ia mengambil kue itu. Namun tatapannya berubah malas saat melihat tanggal kedaluarsanya.

Tak peduli akan jalanan yang mulai dilalu lalangi oleh beberapa orang, Tasya tetap stay di situ.

"Hancur.. Hancur haaatikuu..."

Lalu setelahnya ia malah bersenandung ria di pinggir rumah nenek dan pulang setengah jam kemudian yang ternyata kepulangannya telah dinanti oleh Adelina di depan pintu.

"Astaghfirullah! Siapa kamu!?" Adelina terkejut saat melihat Tasya membuka pagar dan memasuki halaman rumah.

"Tasya, Ma," jawab Tasya malas. Rupanya, efek kue lapis yang basi itu membawa bencana bagi Tasya.

"Ya Allah, anakkuu...," pekik Adelina sembari menutup mulutnya yang menganga layaknya terowongan bawah tanah.

"Heh! Ngapain kamu pagi-pagi udah kelayapan kayak orang gila gitu? Dicariin malah ilang. Aduuuhh!" Adelina malah heboh sendiri sembari membuntuti anaknya memasuki dapur.

"Bukan kayak orang gila, Ma. Tapi kayak badut," sahutnya tak bersemangat.

"Kamu.. Disebut gitu malah terima-terima aja lagi." Adelina memegang kening Tasya agak lama.

"Mama ngapain ah."

"Kamu kenapa sih?" Tanya Adelina.

"Apa atuh, Ma? Aku tuh lagi gak mood. Makan ice cream yang ternyata udah gak berbentuk dan ngelihat kue lapis yang udah basi itu bikin badmood ish," ucap Tasya dibumbui kebiasaannya untuk curcol.

"Oohh... Jadi abis makan ice cream? MASIH PAGI GAK BOLEH MAKAN ICE CREAM. UDAH BERAPA KALI MAMA BILANG, TASYA!? WAH.. BAGUS KAMU BERANI MENGABAIKAN LARANGAN MAMA YA!" Mama berteriak murka sembari berkacak pinggang.

Melihat Adelina yang mengamuk, Tasya mundur pelan-pelan.

"Aku mundur alon-alon ah, Ma..," celetuk Tasya menatap Adelina takut-takut.

"TASYA BINTI ADRIAN!"

"Hadir, Ma." Setelah mengucapkan itu, Tasya segera berlari tunggang-langgang menuju kamarnya. Takut sebentar lagi tatapan tajam mama menusuk jantungnya.

                                 🐊

Oh My FutureTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang