Mata Tasya membelalak saat melihat Andin hendak dibawa oleh seorang laki-laki. Secepat kilat Tasya berlari dan merebut Andin dari pangkuan lelaki itu.
"Kamu mau apain adik saya!?" Pekik Tasya memeluk Andin. Matanya melotot penuh curiga.
"Bukan salah say--"
"Wah cowok itu ganteng-ganteng ternyata tukang culik..."
"Harus waspada nih!"
"Gak nyangka banget ya ganteng-ganteng.."
"Katanya dia anaknya Bu Luna loh."
"Tampang emang ngga menjamin ya.."
"Itu kan anaknya tuan rumah."
Celotehan-celotehan itu terdengar lebih nyaring bahkan dapat didengar sangat jelas oleh Tasya dan juga lelaki di sampingnya yang menjadi gunjingan orang-orang di sana.
"Ikut gue sekarang."
Sementara Andin aman bersama Dikta, lelaki itu malah membawa paksa Tasya ke dalam sebuah kamar.
"Mau ngapain sih bawa Tasya ke kamar!"
Sontak Tasya memeluk tubuhnya sendiri, dan menatap was was ke arah cowok ganteng yang berdiri di depannya.
"Eh, gara-gara lo gue jadi malu njir!"
"Lah, situ sendiri kenapa main bawa Andin segala!?"
"Dia mau ngambil buah-buahan di sebelah sisi ujung kolam, minta tolong ke gue! Terus taunya malah mau digendong juga," katanya membela diri.
"Culik mana ngaku! Jangan-jangan sekarang kamu mau maling, ya? Oemji! I see! Tasya baru sadar, jangan-jangan ini kamarnya Bu Luna! Dan kamu mau nyuri, kan? Ngaku! Tasya aduin anjir!"
Tasya hendak keluar, dan secepat kilat cowok tadi menarik lengannya dan menyudutkannya di balik pintu, dengan tangan yang diletakkan di setiap kanan dan kiri kepala Tasya. Lelaki itu berhasil mengunci pergerakan Tasya.
"Ka-kamu mau ngapain?" Suaranya tercekat. Rasanya sulit sekali hanya untuk menelan salivanya sendiri. Belum menyelesaikan kepanikannya, cowok itu malah semakin mendekat, mengikis jarak di antara mereka.
Tasya berkedip dua kali. Dan tersadar bahwa keadaannya sedang terdesak. Siaga satu!
"Jangan macem-macem ya!" Kecamnya dengan tangan dan kaki yang bergetar. Keringat mulai menetes di jidatnya. Tak peduli. Bagaimana pun, ia harus berani menolak! Harga diri Tasya mahal lho.
Dag dig dug
Dag dig dug.
Jantungnya berdetak bertalu-talu, berdentum dengan keras.
'Di saat begini, ini jantung kenapa malah dangdutan sih?!' Batin Tasya takut-takut.
Cowok itu medekatkan kepalanya, memangkas segala udara penghalang di antara mereka.
Cowok edaaaaan!!
Mama tolongin Tasya Mama...! Ya Allah help me!!
Tasya mencoba menelan salivanya lagi, namun mendadak menjadi sangat macet, susah, kali ini lebih parah. Mau maju kena, mundur udah mentok.
Tasya pasrah, wajah tampan itu semakin dekat dengan wajahnya. Bahkan napasnya terasa menggelikan menerpa hidungnya. Tasya memejamkan matanya, pasrah saja karena dia tidak tahu harus bagaimana lagi.
"WOI! Gue panggil dari tadi juga! Ini kenapa lo pake tutup mata segala lagi," gerutu cowok itu karena Tasya tidak kunjung menyahuti panggilannya.
"Eh? H-hah? Kamu gak cium aku?" Tanya Tasya polos.
Cowok itu menurunkan kedua tangannya lantas melipat kedua tangan itu di depan dada. Tak lupa ia mengangkat sebelah halisnya setinggi monas.
"Jangan bilang kalo tadi, lo lagi ngebayangin gimana kalau bibir gue nempel di situ." Tebaknya sembari menunjuk bibir Tasya menggunakan dagunya, membuat gadis itu mematung sejenak.
"Begitu, hm?" Ia lalu menarik sebelah sudut bibirnya, menciptakan smirk yang mengerikan.
"Eh bukan gitu! Enak aja!"
"Halah! Mana mau ngaku!"
"Kamu tadi mau nanya apa?" Tanya Tasya mencoba mengalihkan pembicaraan seraya memalingkan wajah. Sudah dipastikan wajahnya memerah saat ini. Panas, panas! Gerah!
"Bilang aja mau ngalihin pembicaraan. Muka udah kayak tomat busuk juga."
Tasya semakin memalingkan wajahnya ke samping, dalam hati ia sungguh merutuki dirinya sendiri dan tentunya si iblis yang kini berdiri di depannya. Haduh! Mau ditaruh di mana mukanya kalau beginii.
"Eh, lo madep sini deh!" Lelaki itu mendorong pipi Tasya agar Tasya menatapnya.
"Lo cewek yang waktu itu gue bantuin masuk ke sekolah lewat tembok samping, kan?" Tanya lelaki itu sembari menyipitkan mata.
Tasya ikut-ikutan menyipitkan matanya.
"Kamu..."
Tasya jadi ikutan menilik wajah di depannya kini. Ah iya! Dia kan si ganteng yang waktu itu bantuin Tasya buat masuk ke sekolah lewat tembok samping!
"Gak salah lagi!" Ucap cowok itu keras tiba-tiba sambil membuang muka.
"Eh anjir! Ngapain teriak-teriak!? Udah kek tarzan nemu rimba aja tau..Oh, oh! I see.." Tasya tersenyum menggelikan. Terlihat konyol tentunya.
"Apa lo senyam-senyum?"
"Jangan-jangan kamu ngefans ya sama Tasya? Hayo.. Ngaku!"
"Najis! Ngarep lo."
Tasya terkekeh melihat reaksi cowok itu. Sensitif sekali menurutnya. Dilihat dari dekat begini ternyata emang jauh lebih tampan. Apalagi malam ini pakaiannya rapi. Dia pakai pakaian formal pula. Tapi rambutnya tetep jadi nomor satu! Lucu bangett.
"Eh, kamu beneran maling ya! Ini kan kamarnya Bu Luna!"
"Apaan sih."
"Parah sih parah!"
"Woi, Bu Luna itu nyokap gue!"
"Bohong! Ngaku-ngaku, iew," tuduh Tasya dengan mimik wajah seolah-olah ingin muntah.
"Eh, elo dibilangin pake gak percaya segala dah."
"Ya emang. Percaya sama lo kan musyrik dodol!"
"Terserah lo terserah! Semerdeka lo aja!"
Mereka lalu terdiam. Sibuk dengan pikirannya masing-masing.
Sunyi.
Senyap.
Entah hal apa yang sedang berkeliaran di kepalanya masing-masing.
Damai.
"Jadi lo beneran anaknya Bu Luna?"
"Hm."
"Oh gitu.." Tasya lalu manggut-manggut mengerti.
"ASTAGANAGA! ADIK-ADIK AKU!"
🐝
Meringis aja ngetik part ini..
KAMU SEDANG MEMBACA
Oh My Future
Ficção AdolescenteBagaimana jika kehidupanmu dikelilingi oleh orang-orang yang menyebalkan? Yang setiap harinya berhasil membuatmu mencak-mencak bak orang gila? Lebih parahnya, saat kamu menyadari bahwa ternyata kamu lah sumbu menyebalkan itu. Jadi, sebenarnya bukan...