Tempat ini masih terasa menyeramkan dari terakhir kali aku menginjakkan kaki di sini. Sepi, senyap. Hanya terdengar suara kendaraan bermotor yang melintas atau kicau burung yang sesekali bersahutan. Lantunan doa juga sayup-sayup terdengar, bergantian dengan suara pedagang yang menawarkan bungkusan bunga.
Hanya itu.
Oh, nggak, ada satu lagi. Kalau gemuruh emosi yang nggak berhenti mengacau di dadaku ini bisa dimasukkan, maka kutambahkan satu lagi yang memenuhi pendengaranku. Bedanya, yang satu ini nggak pernah hilang. Nggak pernah satu kali pun sejak dua tahun lalu.
Aku menghela napas panjang. Cukup, hari ini saja sudah berat, aku nggak mau menambah beban di pundakku. Demi Tuhan, aku bahkan belum sampai di tempat tujuanku jadi aku nggak ingin hari ini berakhir sia-sia.
Kalau mau tahu, aku sudah bertekad kuat datang ke sini setelah menghabiskan waktu seminggu hanya untuk mempertimbangkannya. Serius, ini sama sekali nggak mudah untukku karena bagaimana pun juga, aku turut andil menciptakan kekacauan ini.
Sudahlah. Lebih baik kulanjutkan langkah kakiku ini meski terasa sangat berat. Seakan ada rantai yang membawa bongkahan batu besar terikat di pergelangan kedua kakiku.
Sekali lagi kuhela napas kuat-kuat begitu aku sampai di tujuan, mencoba mencari kekuatan tapi ternyata aku memang nggak sekuat itu. Aku terduduk lemas, tiba-tiba saja sekelebat memori beberapa tahun lalu melintas di kepalaku.
"Kenapa kamu nggak pernah dengerin aku, sih, Kim? Lihat, kamu sampe dirawat karena kecapekan. Kapan kamu sadar kalo kamu itu cuma manusia biasa, bukan Wonder Woman?"
Itu suara Agha, suamiku. Dia memang cerewet, tapi entah kenapa aku selalu suka mendengar suara husky-nya saat ia mengomeliku.
"Ya, kalo aku Wonder Woman aku nggak bakal jadi editor senior, tapi pembela kebenaran."
Kulihat raut wajah Agha berubah. Aku seratus persen yakin kalau Agha sudah bersiap-siap melempar petuahnya. Jadi sebelum telingaku berasap, aku buru-buru mengatakan, "Aku nggak kenapa-napa, Gha. Ini cuma masalah kecil," Agha hampir membuka mulutnya, tapi aku kembali menyela, "kamu sudah makan? Ah, pasti belum. Delivery aja, nanti kupesankan. Saldo cash pay aku masih banyak, kok. Kamu mau pesan apa?"
Agha berdecak, "Kamu jangan ngalihin topik, ya. Ini masalah serius. Aku sudah berkali-kali ingetin kamu, jaga kesehatan. Kantor kamu nggak bakal tutup kalau kamu ambil jeda satu atau dua jam untuk makan sama istirahat. Kamu sendiri yang susah kalo kolaps kayak gini, kan?" Agha memberi jeda sebentar dan mendekat ke ranjang, ia menggenggam tanganku, "Kamu berhenti kerja aja, ya, Kim?"
Apa?? Bisa-bisanya dia menyuruhku berhenti! Agha jelas tahu betapa penting pekerjaan ini untukku. Aku memulainya dari sangat bawah, banyak hal-hal sulit yang sudah kulalui sebelum aku ada di posisi sebagai editor senior di kantorku. Lagi pula, Agha sepertinya lupa kalau bukan karena pekerjaan ini, aku nggak akan pernah ketemu sama dia.
"Kamu nggak bisa nyuruh aku berhenti, Gha!" aku menarik tanganku hingga lepas dari genggamannya, "aku nggak akan jelasin sejarah aku di kantor karena kamu udah tahu. Aku juga nggak akan minta kamu mengingat perjanjian kita sebelum nikah. Cuma satu hal aja, aku nggak akan ikhlas kalau sampai aku berhenti kerja atas paksaan kamu."
Mendengar itu, Agha kemudian menatapku dengan pandangan... terluka? Kecewa? Hei, harusnya aku yang kecewa karena dia berusaha menjauhkanku dari hal yang kucintai! Dia tahu persis kalau aku sudah cinta mati sama pekerjaanku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelove Streaming
RomanceAku pernah sangat mencintai karirku. Pergi pagi pulang malam, lembur, sering membawa pekerjaan ke rumah hingga diopname selama seminggu pun nggak pernah membuatku jera. Kalau hal-hal menyangkut diriku saja nggak pernah kuambil pusing, kenapa aku har...