BAB 5 - Kim: Keputusan

358 45 1
                                    

Aku paham kalau setiap orang punya alasan untuk bersedih yang berbeda-beda, tapi sepertinya apa yang kualami ini adalah yang paling buruk sebab mendapatkan banyak simpati dan tatapan kasihan dari orang-orang, kecuali keluargaku. Memangnya, apa yang lebih menyedihkan daripada menjadi janda, pengangguran dan hopeless sepertiku ini?

Aku nggak pernah suka dikasihani. Itulah mengapa aku juga menarik diri dari lingkungan pertemananku. Melihat tatapan iba mereka sungguh membuat bebanku bertambah berkali-kali lipat.

Tapi, jika ada satu orang yang dekat denganku selain Mama, Kailand dan Bang Krisna, maka aku akan menyebut Tissa, sepupu iparku. Tissa adalah sepupu tunggal Agha dari pihak ibunya. Aku cukup dekat dengan Tissa karena kami seumuran dan kepribadian cerianya sangat mengimbangiku yang cenderung jutek dan moody. Saat Agha meninggal pun, Tissa lah yang menemani hari-hariku berduka. Dia mendampingiku, tidur di sebelahku agar dia bisa selalu ada saat aku terjaga karena memimpikan Agha.

Dan yang paling penting, Tissa nggak pernah menatapku dengan pandangan kasihan.

"Kim, gue lagi beneran kesel. Bos gue ngasih kerjaan kadang nggak sesuai sama deadline. Semakin rumit kerjaan bukannya dikasih deadline yang agak longgar, malah makin pendek. Nasib karyawan biasa gini banget, ya. Mau protes nggak bisa, dikerjain malah jadinya ngawur gara-gara kejer deadline." Sungut Tissa.

Ini hari Sabtu. Tissa memang biasa menghabiskan weekend untuk bermalas-malasan di rumahku. Berkeluh kesah, dan aku jadi pendengar setianya.

"Mungkin lo harus bicarain baik-baik sama bos lo. Kalo lo paksain ntar kredibilitas lo dipertanyakan gara-gara kerjaan lo nggak maksimal."

"Bicara baik-baik sama Diana? Mimpi, Kim! Diana tuh ya, kayaknya memang butuh menikah, deh, biar hormon-hormon jahatnya itu terlepas. Perempuan lajang usia tiga puluh tujuh tahun kayak Diana tuh emang jadi mimpi buruk bagi karyawan powerless kayak gue ini."

"Emang lo udah pernah nyoba bicara sama dia?"

Tissa menatapku sejenak, lalu menggeleng. "Belum, sih, tapi ada temen gue yang udah coba ngomong sama dia, hasilnya dia diusir. Sumpah serem banget."

"Mungkin temen lo ada salah ngomong sampe dia kena usir. Lo harus nyoba dulu biar kelihatan hasilnya."

Tissa seketika bangkit dari rebahannya lalu melotot, "Lo kok belain Diana, sih, Kim?"

Aku mengendikkan bahu, "Gue nggak belain siapa-siapa. Kalo lo lupa, gue juga pernah kerja. Ya, sedikit banyak gue tahu lah gimana rasanya di posisi Diana."

"Ya, lo kan beda, Kim. Gue yakin kok, lo bukan tipe bos yang saking kurangnya dibelai sampe marah-marahin anak buahnya nggak jelas."

Kali ini aku yang melotot pada Tissa. "Heh! Mulut lo, ya."

Tissa cuma nyengir tanpa dosa, "Kan, kenyataannya gitu. Dia butuh seks buat mengendurkan syaraf-syarafnya. Biar nggak marah-marah terus."

"Lo tuh ya, bawa-bawa urusan begituan segala."

"Kenapa emang? Bukannya omongan gue bener, ya?"

"Sok bener." Celetukku.

Tissa terkekeh, "Ampun, deh, ampun. Lo emang yang jauhhhh lebih paham dari gue."

Aku berdecak, "Lo ngeledekkin gue lagi, siap-siap tidur di luar malam ini."

Tissa menggeleng cepat, lalu kembali berbaring di sebelahku seraya menarik selimut. "Ogah, ntar gue digangguin si BangKai. Mending digangguin Bang Kris, dah. Tapi Bang Kris nggak pernah gangguin, sih. Baik gitu. Malah gue yang suka mupeng biar digangguin Bang Kris. Hadeehh.."

Travelove StreamingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang