Sebenarnya dulu aku sempat memiliki beberapa sosial media, seperti facebook dan Instagram. Ya walaupun jarang kugunakan, baik sekadar searching atau mengunggah sesuatu, tetap saja aku memilik akun, kan? Tapi sejak kepergian Agha, aku menghapus semuanya.
Awalnya, alih-alih mengunggah ucapan-ucapan belasungkawa seperti perempuan lain yang ditinggal suaminya, aku justru menghapus semua foto. Semua, termasuk foto pernikahanku dan foto-fotoku bersama Agha. Bukannya aku kejam atau langsung ingin melupakan Agha, tapi aku nggak sanggup melihat jejak kenanganku dengannya di sana. Belum lagi aku harus terus-terusan menahan diri setiap kulihat orang-orang menulis komentar di fotoku dengan Agha. Sudah kubilang aku nggak suka dikasihani, bukan?
Namun rupanya menghapus semua foto nggak membuatku lega begitu saja. Aku masih sering teringat gimana interaksiku dengan Agha soal sosial media. Dulu, untuk mengunggah foto di Instagram saja aku dan Agha butuh waktu khusus untuk berdebat, sebelum akhirnya memutuskan foto mana yang harus diunggah. Sering juga berakhir dengan kelelahan dan akhirnya nggak mengunggah apa-apa. Hal sesederhana itulah yang membuatku rindu sekaligus patah hati setiap kali aku membuka akun facebook atau Instagram-ku. Jadi akhirnya aku menghapus akun-akunku dan bertahan hanya menggunakan whatsapp untuk berkomunikasi.
Sampai akhirnya Ran Dirga yang selalu eksis di sosial media itu muncul di hidupku.
Aku nggak bisa memungkiri kalau Ran cukup berpengaruh padaku. Maksudku, vlog-vlog Ran cukup menghibur dan menginspirasiku untuk menikmati hidup selagi masih muda. Tissa memang menganjurkanku untuk melanjutkan hidup, tapi vlog-vlog Ran membuat keinginanku semakin muncul ke permukaan, hingga aku sampai di keputusan untuk benar-benar pergi liburan ke manapun yang kuinginkan.
"Gimana? Udah lo bikin?"
Aku terkesiap. Tissa baru saja kembali dari toilet dan duduk di depanku dengan tatapan ingin tahu.
"Udah." Aku menyodorkan ponselku padanya.
Tissa mengambilnya lalu mengutak-atik ponselku, entah apa yang dia lakukan di sana. Aku memilih untuk menyeruput Choco Frappe-ku saja.
"Eh, Kim. Ran lagi nge-live, nih!"
Iya, pada akhirnya aku kembali mengunduh aplikasi Instagram di ponselku. Kalau ditanya kenapa aku mau, ya tentunya disuruh oleh Tissa. Aku juga lumayan tertarik untuk melihat konten-konten Ran di Instagram. Selain itu? Untuk melatih diriku sendiri agar nggak terlalu parno dengan kenangan-kenangan seputar Agha.
Tissa pindah ke sebelahku, kemudian menunjukkan sesuatu di layar ponselnya. Itu Ran, sedang berceloteh tentang sesuatu yang nggak bisa kudengar dengan jelas karena volume ponsel yang kecil dan suasana Starbucks sore ini cukup ramai.
"Lo bawa earphone, nggak?"
Aku menggeleng. Sementara Tissa mencebik, "Lo sih, ganti iOS kayak gue, kek. Biar bisa pake airpods. Lha ini? Masih betah aja sama ponsel butut lo."
"Emang kenapa, sih, sama ponsel gue? Kan fungsinya sama aja."
"Memori penuh gini lo bilang fungsinya sama? Nggak capek lo, dikit-dikit ngapus galeri? Udah, mending beli ponsel baru. Gue temenin, deh."
Aku mendelik, "Lo pikir beli ponsel baru sama kayak jajan di warung?"
"Yaelah, lo punya lima debit card, Kim. Semuanya punya isi yang gue jamin, nggak bakal bikin lo bangkrut seketika cuma gara-gara lo jajan hape."
Jajan hape? Tissa ini ada-ada aja, sih. Ponsel, kan, bukan jajanan yang bisa dibeli kapan pun dia mau.
"Hm, Tis. Gue mau cerita." Daripada perdebatan soal ponsel ini berlanjut, lebih baik kualihkan saja pembicaraan. Ya, walaupun aku ragu Tissa ini bisa dialihkan begitu saja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelove Streaming
Любовные романыAku pernah sangat mencintai karirku. Pergi pagi pulang malam, lembur, sering membawa pekerjaan ke rumah hingga diopname selama seminggu pun nggak pernah membuatku jera. Kalau hal-hal menyangkut diriku saja nggak pernah kuambil pusing, kenapa aku har...