Aku benar-benar nggak bisa berkata apa pun saat melihat indahnya sunset langsung di depan mataku. Selama ini aku cuma bisa melihatnya di film atau sekadar membayangkannya untuk kutulis di dalam novel-novelku. Ah, nggak. Ini bahkan jauh lebih cantik dari film-film yang pernah kutonton, atau dalam imajinasiku sekali pun.
Dan tolong jangan tanyakan soal honeymoon-ku dan Agha di Lombok yang cuma dua hari itu, Agha bahkan nggak membiarkanku keluar dari kamar karena waktu kami sangat terbatas. Nggak perlu kujelaskan apa-apa saja yang kami lakukan, kan? Yang jelas bukan lomba balap karung.
"Cantik banget, Ran. Gue baru tahu ada tempat kayak gini."
"South Beach emang populer karena sunsetnya indah, tapi jarang ada orang yang tahu kalau ada spot lain yang bisa bikin sunset-nya jadi jauh lebih cantik lagi kayak gini."
Aku menoleh pada Ran, "Terus, kok lo bisa tahu tempat ini?"
Dia seketika menoleh padaku dengan cengiran lebarnya, "Mark. Kalau bukan asli sini atau nggak dipandu sama guide lokal, pasti nggak tahu sama tempat ini."
"Oh, pantesan. Ini pertama kalinya gue lihat sunset secara langsung, jadi bagi gue ini yang paling indah. Tapi kalau dibandingkan sama film-film yang pernah gue tonton, sih, yang ini kayaknya tetap lebih cantik."
"Indeed. Itulah kenapa pantai ini famous."
"Kayak lo, gitu?"
Dia tertawa kecil. Ah, aku yakin bukan hanya aku yang menyukai deep voice-nya kalau sedang tertawa seperti ini, "Kalau gue sih, lebih famous."
Aku berdecak seraya menggeleng-geleng. Kadar kenarsisan Ran ini kayaknya makin hari makin jadi, tapi entah kenapa aku menganggapnya sebagai hal yang lucu. Ran dan narsis seperti satu paket yang nggak pernah gagal membuatku tertawa geli.
Detik berikutnya aku memutuskan tatapanku darinya dengan kembali menoleh ke matahari yang perlahan akan tenggelam sepenuhnya. Aku menyaksikan detik-detik keindahan itu dengan penuh kagum, hingga hilang sepenuhnya dan berganti ke kegelapan.
"Balik?"
Aku mengangguk, tapi segera tersadar kalau Ran mungkin nggak bisa melihatku dengan jelas. "Iya."
Kudengar bunyi grasak-grusuk, sebelum mataku silau akibat flashlight yang dinyalakan Ran. "Yuk. Ikutin gue, ya."
Aku mengikuti langkah Ran yang mencoba menuruni tumpukan bebatuan besar. Untungnya batu-batu yang kami pijak nggak basah sama sekali jadi kemungkinan terpeleset sangat kecil. Hanya saja aku tetap harus berhati-hati karena tinggi undakan batu-batuannya tidak teratur.
Selanjutnya, semakin jauh melangkah turun aku semakin merasa kalau tinggi undakan ini juga semakin nggak tentu. Kadang tinggi, kadang rendah. Aku bahkan harus berjalan sangat pelan biar nggak salah langkah.
"Kim, lo masih di belakang gue, kan?" tanya Ran tanpa menoleh. Kurasa dia juga fokus dengan langkah-langkahnya.
Astaga, kapan sampainya, sih? Padahal pas naik ke tempat tadi, perjalanan lancar-lancar saja.
"Iya."
"Kok diem aja? Lo lagi nyari duit jatuh?"
Ya ampun, masih sempat-sempatnya dia bercanda dalam keadaan yang butuh konsentrasi kayak gini.
"Lagi ngitungin langkah." Jawabku asal.
Dia lagi-lagi tertawa, "Yaelah, Kim, langkah lo itungin. Jumlah tas Vuitton yang dihancurin tiap tahun tuh lo itungin."
"Kurang kerjaan banget gue ngit..."
Eh, Astaga! Aku terkejut begitu kurasakan kakiku menginjak undakan batu yang cukup tinggi. Hampir saja aku terjatuh, kalau Ran nggak sigap menahan lenganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelove Streaming
Lãng mạnAku pernah sangat mencintai karirku. Pergi pagi pulang malam, lembur, sering membawa pekerjaan ke rumah hingga diopname selama seminggu pun nggak pernah membuatku jera. Kalau hal-hal menyangkut diriku saja nggak pernah kuambil pusing, kenapa aku har...