BAB 10 - Ran: Start Over

314 46 4
                                    

Dulu, waktu gue pedekate sama mantan gue pas SMA, semuanya terjadi begitu aja. Dhisa, mantan gue itu yang namanya baru aja gue inget, adalah temen sekelas sekaligus temen gue di klub multimedia. Gue awalnya nggak niat pedekate, tapi pas gue kenal dia yang satu selera sama gue, ngobrolnya nyambung, terus ditambah intensitas pertemuan yang hampir tiap hari, ya gue jadi tertarik. Gue jadi inget gimana interaksi gue sama Dhisa yang tadinya cuma ngobrol soal pelajaran atau hal-hal menyangkut tugas di klub, berubah lebih luas sampe ke ranah pribadi. Terus gue ajak dia pacaran, setahun kemudian kami putus karena dia lanjut kuliah di Amerika dan nolak LDR.

Begitupun sama Leia, mantan gue yang paling fresh from the oven, proses pedekate itu terjadi gitu aja. Nggak ada acara love at the first sight kayak yang sering diomongin orang-orang, semua murni karena gue udah kenal dia duluan dari lingkaran pertemanan dan organisasi. Lalu karena merasa cocok dan tertarik, gue sama Leia sepakat untuk berkomitmen lebih dari sekadar teman atau rekan di organisasi. Ya, walau akhirnya gue juga tetap putus setelah enam tahun lebih jalan sama dia.

Makanya pas gue tertarik sama cewek yang bukan berasal dari lingkaran pertemanan atau hobi kayak sekarang, gue bingung setengah mampus gimana cara untuk memulainya. Ya, katakanlah gue cemen, tapi serius, gue sama sekali nggak berpengalaman sampe gue nggak tahu apa yang harus gue lakuin buat deketin dia.

Sial, kenapa gue jadi kayak ABG nanggung yang baru pertama kali naksir cewek, sih? Yakin gue, Rei bakal ngakak sejadi-jadinya kalau tahu apa yang lagi gue alami ini.

Sebenernya dari tadi gue udah menimbang-nimbang mau nge-chat Kim duluan, tapi selalu berakhir nggak jadi. Urusan gue sama dia yang soal vlog udah kelar, gue juga udah ngucapin makasih sama Kim secara langsung di wedding-nya Haikal dua malam lalu, terus gue mau mulai chat dari mana, coba?

Nggak mungkin banget gue basa-basi sok nanya kabar atau nanya dia lagi ngapain, kan? Sepintas aja gue tahu kalo Kim ini orangnya langsung to the point, which is bakal bikin gue mati gaya dan speechless kalo seandainya dia balik nanya, 'Ada perlu apa, Ran?'

Fix, gue butuh berenang buat jernihin pikiran gue yang lagi kacau gini cuma gara-gara tertarik sama cewek.

Gue beranjak dari kasur lalu ngambil handuk dan bathrobe di lemari. Masih dengan menggenggam ponsel, gue beranjak turun menuju pool yang udah seminggu ini gue anggurin. Gue bersiul santai menuruni anak tangga, tapi saat berada di ujung tangga gue menghentikan langkah. Gue lihat pintu ruang kerja Rei terbuka, lalu melihat adek gue itu lagi sibuk sama tumpukan berkas di mejanya.

Well, gue belum cerita soal kerjaan si Rei, ya?

Kakek dari pihak Ayah gue punya perusahaan retail yang cukup gede. Susunan manajemen perusahaan Kakek pun semuanya diisi oleh keluarga dan kerabat kami. Ya, katakanlah ini perusahaan keluarga besar. Terus, sejak Kakek dan Ayah meninggal, otomatis gue lah yang seharusnya meneruskan kepemimpinan Ayah di perusahaan itu sebab Ayah adalah satu-satunya anak laki-laki Kakek. Tapi sejak awal gue udah nggak minat sama kerja kantoran apalagi mimpin perusahaan, gue juga nggak kuliah bisnis seperti yang disaranin Ayah, makanya Rei lah yang ngambil tugas itu. Sesuai sama passion dan minat Rei juga, sih, yang mau kerja pake style necis ala eksekutif muda kekinian.

Untungnya Ayah bukan tipe orangtua yang suka memaksakan kehendak sama anaknya. Ayah selalu mendukung setiap keputusan gue, Rei dan Acha asal memang bukan sesuatu yang melanggar prinsip dan norma. Ah, gue jadi kangen Ayah, kan.

"Ngapain lo berdiri di depan pintu sampe ngelihatin gue kayak gitu, Bang?"

Teguran Rei otomatis bikin gue tersadar kalau gue udah kayak cewek kasmaran yang lagi ngintipin cowok yang dia taksir. Ish, najisin banget.

Travelove StreamingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang