Gue merapikan rambut gue yang sedikit mencuat di bagian pelipis. Rambut yang udah agak gondrong ini gue kuncir rapi sementara sisa anak rambut di bagian depan sengaja dibiarin tanpa pomade, biar nggak kelihatan rapi-rapi amat.
"Nggak pake dasi lo, Bang?"
Rei udah berdiri di pintu kamar dengan penampilan rapi, lengkap dengan dasi dan rambut ditata sedemikian rupa dengan pomade andalan dia. Jelas kelihatan jauh berbeda dengan gue yang seadanya aja. Bagi gue, cukup jas yang bikin gue kelihatan formal, nggak usah pake dasi panjang atau bow tie segala.
"No, thanks. Gue nyaman yang begini aja."
Gue memakai sepatu, mengambil ponsel dan dompet sebelum mengajak Rei keluar. Rei cuma bisa berdecak singkat melihat kelakuan gue yang nggak terlalu perhatian sama penampilan untuk acara formal seperti ini. Tapi gue nggak peduli, bagi gue penampilan gue udah cukup layak buat ke acara kondangan.
Rei harusnya bersyukur gue lebih milih nggak pake dasi daripada gue cuma make kaos dan jeans favorit gue.
Gue ngelihat Ardi udah duduk di ruang keluarga sambil mainin ponsel. Begitu sadar gue sama Rei udah siap, dia segera berdiri dan merapikan setelannya. Sama seperti gue, Ardi hanya memakai celana bahan hitam, kemeja yang kancing teratasnya udah dilepas dan jas.
"Kalian udah siap?" Ibu muncul dari kamar lalu menghampiri kami bertiga.
"Iya, Bu." jawab Rei.
Gue buru-buru menyalimi tangan Ibu biar bisa segera berangkat. "Kita berangkat dulu, ya, Bu."
"Pulang jam berapa?"
"Abis acara langsung pulang, Bu. Tapi Ibu nggak usah tungguin, langsung tidur aja. Ran bawa kunci, kok."
"Yasudah. Hati-hati, ya."
Gue, Ardi dan Rei langsung berangkat dengan mobil Ardi yang dikendarai oleh Rei. Gue biarin Ardi duduk di sebelah Rei, sementara gue santai di jok tengah.
"Sebel gue, pacaran balik ke jaman megalitikum lagi."
Gue mengalihkan perhatian gue dari Instagram ke Ardi. "Kenapa lo sama Acha?"
"Paling susah komunikasi." celetuk Rei. "Ya, nggak?"
Ardi mengangguk. "Gue balik sms-an lagi sama Acha, man! Itupun cuma bisa pas dia senggang biar bisa nyari sinyal."
Rei terbahak. "Mending masih bisa nyari sinyal, lha gue dulu nggak nongol sama sekali. Kering kerontang hidup gue nggak bisa main hape, untung cewek-cewek di tim gue pada cantik semua."
Gue berdecak denger omongan Rei barusan. Kalo nggak inget dia lagi nyetir, pasti udah gue geplak kepalanya biar dia nyadar. "Dosa apa gue bisa punya adek otaknya kayak lo ini,"
"Kok dosa, sih? Berkah, lah."
"Gilirin cewek lo bilang berkah?"
"Bang, gilirin buat digebet doang ini, diajak kencan. Kalo nyambung ya lanjut, kalo nggak ya stop."
"Bukannya diajak ngamar?" celetuk Ardi.
"Heh, sembarangan ya. Nggak pernah gue ngajakin cewek-cewek ngamar!"
Ardi terkekeh. "Nggak pernah ketahuan, maksudnya?"
"Wah, fitnah dan pencemaran nama baik ini. Gue nggak terima!"
Gue cuma bisa ketawa kecil sambil geleng-geleng kepala ngelihat tingkah Rei dan Ardi kayak gini. Ardi yang doyan ngejahilin, bakal tambah semangat ngeledeki Rei yang mudah terpancing kalo udah menyangkut citra dan nama baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Travelove Streaming
RomanceAku pernah sangat mencintai karirku. Pergi pagi pulang malam, lembur, sering membawa pekerjaan ke rumah hingga diopname selama seminggu pun nggak pernah membuatku jera. Kalau hal-hal menyangkut diriku saja nggak pernah kuambil pusing, kenapa aku har...