Ancaman

79 8 0
                                    

Namun tentu saja Rayla tak pernah serius dengan ucapannya.

Keesokan harinya di sekolah semuanya tampak berjalan seperti biasa. Ia hanya ingin bicara sesuatu dengan Rinai sebelum pulang.

Rinai tampak berjalan di penghujung koridor.
Dengan gerakan cepat Rayla menyusulnya.
"Maksud lo apa kemarin bawa gue ke pemakaman sama pabrik kosong gitu?!" Rayla mendorong tubuh Rinai.

Rinai hanya tersenyum.
" Lo nggak perlu tau alasan gue nge bawa lo kemarin. Yang jelas sekarang lo harus buat keputusan!"

" siapa lo yang nyuruh nyuruh gue?lo juga suruhannya Reza? Kalau gue nggak mau milih?"

" Ray nggak bakalan hidup aman!" Tegas Rinai.

"Gue nggak nyangka ternyata lo kayak gini,Nai. Kenapa lo mau jadi suruhannya Reza?"

" karena gue suka sama Reza dan gue benci sama lo yang udah sia sia in dia!"

" udah kalau lo mau ambil Reza ambil! Jangan bawa bawa Ray!"

Lagi lagi Rinai hanya tertawa jahat.
" lo tinggal ngikutin permainan ini"
Rinai berjalan menuju gerbang. Lalu menghilang.

Rayla menenangkan dirinya. Ia berjalan keluar menuju parkiran. Sekolah mulai sepi. Hanya tersisa anak anak yang memiliki ekskul.

Rayla mengendarai motornya. Berjalan pelan keluar dari area sekolah. Tiba di jalan besar. Dipersimpangan jalan, Rayla membelokkan motornya. Namun di penghujung jalan, sebuah kerumunan menghambat jalannya.

Seperti sebuah kecelakaan. Rayla mengendarai motornya dengan sangat pelan. Ingin melihat korban kecelakaan tersebut. Mata Rayla terbelalak kaget ketika melihat orang yang tangannya bersimbah darah karena tergores keras dengan aspal. Motornya memiliki beberapa goresan. Hanya kepala nya yang selamat karena memakai helm. Dia merintih kesakitan. Helm masih terpasang di kepalanya. Namun Rayla dapat mengenali orang itu. Ya, Ray.

***
Ray membuka matanya perlahan. Dia sudah terbaring lemah di atas kasur rumah sakit. Tampak Rayla yang tengah berdiri di samping nya mengupas buah buahan di atas meja.

Rayla menoleh sebentar ke arah Ray. Kembali melanjutkan aktivitas memotongnya.
" udah bangun?" Rayla berbasa basi.

Ray memegang kepalanya yang berat.

"Makanya,kalau bawa motor itu hati hati,bego" Rayla mengambil kursi dan duduk di samping ranjang Ray.

"Bukan gue yang salah." Lirih Ray lemah.

"Sst, udah. Keadaan udah kayak gini masih sempat nge bela diri." Rayla memotong buah.

"Ya emang bukan gue yang salah,Raa" Ray memperjelas.

"Terus siapa?Bukannya jatuh sendiri?" Rayla menoleh.

"Ya nggak lah, tadi itu ada mobil yang nyerempet motor gue,terus kehilangan keseimbangan. Tuh mobil nggak tau pergi kemana" jelas Ray.

"Terus lo korban tabrak lari gitu?"

"Ya,gitu"

Rayla mengangkat bahunya. Ia mengambil sebuah apel yang masih utuh. Lalu melemparkannya ke Ray mengenai kepalanya.

" aduh! Sakit"Ray meringis.

Rayla tertawa.
" yaelah gitu doang."

Ray memandang apel itu. Bukannya sedari tadi Rayla memotong motong buah buahan.

" lo yakin ngasih gue ni apel?" Ray tak percaya.

Rayla mengangguk.

"Gimana gue bisa makan?"

Garis TeduhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang