A++

1.2K 105 40
                                    

Harum permen mint menghunus penginderaan gue saat mobil mulai jalan, di atas dashbore ada bingkai kecil menampung sebuah foto usang yang gue perkirakan udah berumur tahunan menampilkan dua bersaudara saling merangkul. Gue maju sedikit guna mempertegas gambar tersebut dan ternyata dua sosok tersebut adalah bocah kembar. Pyur mirip pake banget. Gue tercipta dengan kekepoan tinggi sampai gue ngga sadar bertanya yang seharusnya nggak gue pertanyakan "ini foto siapa mas?"

Respon pertama pria di samping gue adalah hanya melirik gue sebentar lalu yang dilakukan selanjutnya, dia fokus jalanan di depan. Kampret bin kupret. Baru kali ini gue nggak dianggep sama sekali coy. Sakit nggak tuh? Banget. Gue juga manusia kali bukan mbak kunti yang nggak sengaja kecelakaan terus ditolong sama dia. Gue Makhluk berwujud dan bukan transparan. Catet.

Memeluk helm erat, gue memalingkan wajah ke kiri. Pemandangan di luaran lebih mengenakan ketimbang sosok dingin di samping gue. Berasa di supirin patung coy.

"Rumah kamu di mana?" Lima belas menit saling diam, akhirnya dia mengeluarkan suaranya. Gue yang udah males hanya menunjuk jalanan di depan. Tinggal sepuluh menit lagi kia, kamu terbebas dari makhluk dingin ini. Jujur gue nggak suka orang dingin karena dasarnya gue tipikal orang doyan ngomong.

Mobil belok memasuki perkomplekan, setelah tangan gue meragain stop ala ala tukang parkir mobil akhirnya berhenti di depan rumah bercat krem. Buru buru gue keluar dari mobil, masuk gerbang tanpa gue tutup kembali toh nanti ditutup sama mang jajang. Belum sampai pintu, pintu udah terbuka oleh mama . Mama menyambut gue girang. Gue tebak india yang mama tonton happy ending, mangkanya wajah mama berseri seri.

Gue mencium tangan mama lalu masuk ke dalam menuju ruang tengah, sampai di ruang tengah gue langsung tiduran di karpet bulu. Nyaman coy.
Mama menghampiri gue, mengambil majalah yang tergeletak lalu menimpuk kepala gue. Mata yang tadi merem melotot ke arah mama "dosa kamu melotot sama orang tua" gue menghembuskan nafas pelan.

"Setan apa yang merasukimu ma? Kenapa dengan teganya menimpuk anak secantik kia?"

Bola mata mama berotasi, dagunya mengarah pintu penghubung ruang tamu. Pandangan gue otomatis ke arah pintu, nggak ada apa apa. Hanya ada gorden transparan bahan plastik bermotif bunga sakura. "Ada apa mama kia yang paling cantik?"

"Bikin minum sana, kasian tamunya udah nungguin" sebelah mata mama mengedip ke arah gue. Fix mama kerusakan setan genit. Tolong ustad atau kyai dateng ke rumah gue, ruqiyah mama gue.

Tamu?

Buru buru gue bangkit, hanya butuh lima langkah gue sampai di ruang tamu. Di sana sosok dingin yang gue hindari tengah duduk manis, matanya menelisik ruangan. Dia nggak sadar gue udah berdiri di belakangnnya.

Gue tepuk bahunya, dia terlonjak lalu dengan sigap dia berdiri menghadap gue. Dia tersenyum manis yang gue balas senyuman masam.
Giliran di luar mobil dia bisa tersenyum. Dasar pencitraan.

Gue arahkan dia duduk di sofa depan gue, sedangkan gue duduk di sofa yang tadi dia duduki. Dia tersenyum lagi. Lama lama gue timpuk juga ini orang.

"Gue kira loe udah pulang, loe mau minta gue bilang makasih?" Gue menyender ke punggung sofa, kedua tangan gue terangkat lalu dengan anggun bersidekap depan dada.

Dia berdehem, masih tersenyum bahkan kini menenggelamkan mata yang baru gue sadari dia memiliki mata sipit mirip orang tionghoa. "Saya mau ngasih ini buat ngobatin luka kamu" dia mengangsurkan dua buah hansaplas ke atas meja. "Kebetulan saya tipikal menolong orang nggak setengah setengah" lagi dia tersenyum. Sombong amat. Gue tersenyum pongah dong. Gue ladenin loe manusia sombong dingin penuh pencitraan. Gila julukan dia banyak banget.

"Oh begitu. Kalo begitu saya harus kudu wajib mengucapkan terima kasih untuk mas yang udah nolong saya nggak setengah setengah" badan gue mencondong ke depan, lalu gue ulurkan tangan. Dan dengan sigap pula dia menjabat tangan gue. "Its oke. Saya permisi mbaknya"

Nikah Yuk !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang