E

952 98 32
                                    

"Aku kangen kamu. Kenapa kamu milih dia ketimbang aku?"

Gue masih diam setelah lima belas menit bertemu. Yang gue lakuin memandang dia, dia menuang bir ke gelas lalu meminumnya lagi dan lagi seperti itu. Gue yakin gue gila, seumur hidup gue baru memasuki tempat terlarang ini.
Setelah gue bertemu teman se SMA gue, fano menghubungi gue. Meminta gue menjemputnya di tempat ini, di sofa pojok sebuah bar mini.

"Ki.. aku masih pake jam tangan pemberian kamu lho, jujur aku masih sangat mencintai kamu. Aku masih menjadikan kamu ratu di hatiku ki"

Jujur. Ada satu detik bahagia mendengarnya.

"Tapi kenapa kamu milih dia dibanding aku ki? Aku kurang apa?" Tanyanya frustasi. Tangannya meraih tangan gue ke dalam genggamannya. Gue mencoba melepas tapi sulit. Gue menatap sekeliling, untung bar masih sepi karena baru buka setelah maghrib. Genggamannya mengerat "jawab aku ki ! Apa kurangnya aku buat kamu?!"

Gue masih tetap diam. Namun juga masih berusaha melepas genggamannya. Tiba tiba tangan gue dia kebaskan "kamu fikir kamu sempurna? Kamu cantik? Kamu itu layaknya upik abu dimata aku ! Kamu murahan !"

Gue tergelak. Menatap fano nggak percaya. "Loe itu sok suci ! Pacaran macam apa cuma sebatas itu, gue juga butuh asupan. Loe itu cuma pinter ngatur, ngelarang padahal loe nggak tau apa yang gue inginin."

"Maksud loe apa?"

"Gue juga pengen bebas bangs*t ! Gue tertekan pacaran sama loe. Disaat gue butuh perlindungan, tapi yang gue dapetin dari loe hanya kekangan. Gue butuh minum, gue butuh merokok, gue butuh.." fano maju sedikit lalu berbisik pelan "seks"

"Gue antar pulang, loe udah mabuk"

Fano menepis tangan gue "gue nggak mabuk jal*ang. Gue cuma butuh loe ngertiin gue sekali saja.."

"Gue.. penasaran rasa tubuh loe, jangan jangan si bangs*t itu udah merasakan?"

Gue langsung menamparnya, namun fano hanya menyeringai. "Loe itu sampah yukia.. pacaran lima tahun itu berasa neraka bagi gue, apalagi setelah melihat loe tunangan sama dia. Loe ibarat upil bagi gue."

Anjir. Bangke. Monyet.
Ingin rasanya gue mengumpat tepat depan wajah fano.

Lama lama di sini gue makin sakit hati. Gue memutuskan untuk pergi tetapi fano menarik tangan gue untuk duduk kembali . Telunjuknya menari nari di wajah gue, menyusurinya dengan sangat pelan dan berakhir di bibir kemudian wajahnya semakin maju. Belum sampai, gue melengos membuat fano terkekeh. "Kenapa? Ciuman gue masih sama enaknya sayang.. ah iya, apa ciuman rio lebih mengenakan dibanding gue?"

Fano berdecih lalu tangan kanannya mencengkram erat rahang gue "camkan. Gue benci sama loe. Loe mau mati atau apa terserah. Dan perlu gue ingetin. Loe itu cuma perempuan bodoh, kepedean, burik yah burik karena nggak tau caranya merawat diri menyenangkan pasangan, cerewet, suka ngatur dan sok melarang. Gue benci loe yukia faranisa" setelahnya fano tergeletak di sofa . Gue merogoh saku jaketnya, mendial nomer sarah lalu meminta mas bartender berbicara dengan sarah.

Gue berlari keluar bar, berjalan menyusuri trotoar tanpa tujuan. Mempercayai akan tujuan kaki ini melangkah. Dan di tengah jalan tiba tiba ada anak perempuan yang hampir tertabrak kalo saja gue nggak berlari menolongnya. Setelah membawa ke taman, ibu dari anak yang bernama shila datang . Dia menitipkan anaknya sementara dia harus bekerja hingga pukul setengah sembilan malam.

Bersama shila gue merasa bahagia, kami bermain di taman . Berlarian, membeli permen kapas dan waktu seakan cepat berlalu. Shila dijemput ibunya. Dunia gue kembali kosong.

Nikah Yuk !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang