C

764 102 25
                                    

Anggaplah gue bodoh. Gue pikir dengan gue tampil cantik di depan mereka terutama fano, gue akan mendapat kepuasan. Tapi gue salah, baru memasuki ballroom hati gue terasa panas. Kaki gue mengakar ke lantai berkarpet merah, enggan melangkah ke panggung pelaminan.
Dari rumah gue yakin seratus persen gue mampu, bahkan gue dandan ke salon serta khusus pakai gaun rancangan terbaru gue tetapi setelah melihat mereka di atas panggung sana bersanding bahagia, keyakinan gue merosot hingga nol persen.

Setegar apapun gue berusaha, gue masih yukia yang lemah dengan perasaan. Gusti gue harus bagaimana?

Gue masih diam di tempat dengan pandangan ke panggung namun kesadaran gue kembali saat sebuah tangan melingkupi telapak tangan gue, bahkan jemarinya yang besar menaut dengan jemari gue. Gue palingkan wajah ke kanan, di samping gue berdiri seseorang tampak gagah dengan balutan jas hitam, sosok yang nggak gue sangka. Lama gue amati dia dari samping membuat dia berdehem kemudian memajukan wajahnya ke dekat telinga gue.

"Tunjukan bahwa kamu kuat, jangan biarkan mereka bahagia melihatmu lemah" bisiknya. Gue mengerjap beberapa kali, hingga dia membisiki gue lagi. "Mau bermain drama calon istri? Ikuti permainan calon suamimu"

Tautannya terlepas berganti tangan gue mengapit lengannya. Kami berjalan ke arah panggung, menebar senyum palsu ke setiap tamu yang menatap kami terang terangan.

"Kamu mau makan dulu apa langsung ke pengantin?" Bisiknya lagi

"Langsung ke pengantin terus pulang, boleh saya minta antar pulang, mas?" Lirih gue. Tangan gue semakin mencengkram erat jas hitam milik rio saat kami semakin mendekati panggung.

"Dengan senang hati"

Gue berdiri di belakang rio, menunggu giliran menyalami pengantin.

Pandangan gue bertemu dengan mata fano, mata berwarna karamel yang dulu selalu menatap gue memuja kini berganti tatapan sendu. Gue tau, di dalam lubuk hati fano masih tersimpan sedikit tentang gue tetapi gue tau pernikahan ini harus. Dan gue bisa liat dari wajah tante ellen menyimpan kebahagiaan atas pernikahan anaknya terkecuali tatapan kecewa om clinton kala menatap fano.

Tangan rio merangkul pinggang gue, gue tersentak. Dengan refleks gue menyalami fano, genggaman fano masih sama menyejukan. Hanya saja tatapannya berubah nyalang, rahangnya terlihat mengetat. "Selamat ya fan, semoga bahagia selalu" buru buru gue lepas genggaman fano, beralih ke sarah. Sebelum itu rio melabuhkan sebuah kecupan di pelipis gue, gue lirik fano tangannya mengepal. Sedangkan sarah nampak biasa saja, dia aangat anggun menggunakan gaun kedua rancangan gue. Gaun putih yang menjuntai ke lantai, berakses bulu ayam buatan dengan warna senada gaunnya.

Sarah tersenyum pada gue, sebagai bentuk kesopanan gue cium pipi kanan kiri sarah yang lagi gue dihadiahi sebuah senyuman. Senyuman miring yang gue artikan sebagai senyuman pengejekan.
Kalo nampar pengantin di depan khalayak itu adalah tindakan sopan, akan gue lakuin sekarang juga. Tapi nggak, gue nggak mungkin mempermalukan diri gue sendiri apalagi saat pandangan gue bertemu dengan mama yang tengah bercengkerama riang bersama tante ellen.

Rio semakin merapatkan pinggang gue, mengajak gue keluar ballroom dan membawa gue ke apartemennya. Gue nggak sedang mimpi kan? Seorang lelaki dewasa mengajak gue ke apartemennya. Gila, ini kali pertama gue main ke apartemen laki laki. Apa jangan jangan, gue mau diperkosa sama dia? enggak enggak.

"Kamu kenapa?" Rio duduk depan gue membawa dua gelas dan sebotol besar coca cola. Tangannya dengan telaten menuang coca cola ke dua gelas lalu menyodorkan salah satunya ke gue. "Kamu pasti mikir jorok kan?" Kemudian menyesap segelas coca colanya. Gue mendelik lalu melakukan hal yang sama, gue butuh yang segar segar untuk merefresh otak gue yang semrawut.

"Kamu bisa gunakan balkon apartemen saya kalo mau meluapkan semuanya" katanya

Segelas coca cola tandas memasuki tenggorokan, berganti suara gue yang sedikit bergetar. "Boleh?"

Nikah Yuk !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang