Bab 4

1.1K 74 3
                                    

Happy Readings ....

***

"ARAAA ... ayang Vano gue gimana keadaannya?" Teriak Marsya yang baru saja sampai di rumah sakit. Di belakangnya menyusul Dion, Rafa, Denis, Reza juga Andi.

"Syuttt, berisik lo! Ini tuh Rumah sakit bukan kandang lo." Marah Ara sambil menaruh telunjuknya di depan mulutnya, tanda untuk diam.

Seisi Rumah Sakit menatap mereka sinis, sedangkan para lelaki tadi hanya bertingkah tak kenal dengan Marsya karena malu.

"Hehe sorry, gue-kan panik denger ayang Vano masuk Rs. Terus keadaannya gimana sekarang?"

"Lagi diperiksa dokter. Udah tunggu aja dan jangan berisik!"

"Oke deh," ujar Marsya lalu mereka duduk di kursi panjang depan ruangan sambil menunggu dokter keluar. Kalau kayak gini, mereka kayak orang benar ya hehe.

Seminggu dua minggu mereka menunggu, enggak deng. Satu jam mereka menunggu, akhirnya dokter keluar dengan jas dokternya-ya kali pake jas hujan, ck. Ara dan yang lain langsung berdiri. "Gimana keadaan abang saya, Dok?"

"Pasien baik-baik saja, hanya saja terdapat tulang rusuk yang patah, untuk itu dibutuhkan pemulihan satu sampai dua bulan. Jadi, saya sarankan untuk beristirahat selama itu dan untuk sekarang tidak banyak bergerak terlebih dahulu agar pemulihan bisa semakin cepat.  Sekarang pasien dalam keadaan tidur. Saya juga sudah menyuntikan penghilang rasa sakit. Jika ingin menemuinya, tolong biarkan ia tertidur." Jelas Dokter lalu ia pun pergi. Ara dan rombongan pun segera menemui Vano.

***

Semua teman Ara yang lain memutuskan untuk pergi ke kantin, sedangkan Ara tetap menunggu Vano sadar, karena Ara ingin dialah yang menjadi orang pertama yang dilihat Vano saat ia siuman.

"Bang, gak cape apa lo tidur terus? Gabut banget gue gak ada yang jailin ...," ucap Ara sambil berbaring di brangkar sebelah Vano. Kamar ini terdapat dua brangkar, karena kamar pribadi telah penuh.

Menatap langit-langit serba putih sambil mengoyangkan kakinya, Ara mengingat kejadian semalam yang sangat mendebarkan. "Omong-omong, Si dodol Justin masih hidup gak ya?" Gumam Ara pada diri sendiri.

"Bang, gabut banget elah nunggu-in lo tidur. Gue ikut tidur aja ya, siapa tahu bisa ikut masuk ke mimpi lo. Awas ya lo kalau mimpi yang enggak-enggak, gue bunuh lo dalam mimpi!" ujar Ara lalu ikut tidur. Ets bukan tidur di brangkar kosong yang tadi ia tiduri, melainkan tidur di brangkar yang sama dengan Vano. "Bang geser dikit dong." Lanjut Ara setelah berbaring di sisi Vano.

"Bang dada lo pasti sakit-kan? Gue elus ya, siapa tahu tangan ajaib gue bisa nyembuhin luka lo." Bukannya tertidur, Ara malah mengganggu Vano. "Bang, perut lo banyak roti sobeknya ya, hihihi." Lanjutnya sambil tertawa geli.

"Enak ya lo pegang-pegang perut gue," ujar Vano yang telah bangun.

Brakk

"Wadidaw ... aduh sakit bat elah punggung gue, lo tuh kalau sadar bilang-bilang kek. Ngagetin gue aja lo." Kesal Ara lalu bangkit karena terjatuh dari brangkar.

"Ganjaran buat lo yang udah pegang-pegang perut gue tanpa izin." Acuh Vano.

"Jahat lo ya, kalau gue patah tulang gimana? Mau tanggung jawab lo?"

"Di sini gue yang patah tulang, ya. Jadi gak usah lebay lo!"

Tak membalas ucapan Vano, Ara duduk dikursi menghadap Vano.

"Kenapa lo? Tumben gak jawab, biasanya gak mau kalah lo." Aneh Vano karena Ara tak seperti biasanya.

"Lo, ya. Gue diam salah, ngomong mulu salah. Serba salah emang, apalah gue cuman bubuk rengginang." Dramatis Ara dengan ekspresi lebay.

"Alay lo!"

"Udah jangan ngomong mulu lo, mending istirahat aja."

"Tumben perhatian?"

"Bodo amat! Tidur aja lagi lo, ngomong mulu!" Ngegas Ara lalu berjalan mengambil minum. "Nih minum, kata dokter kalau lo sadar suruh minum." Lanjut Ara lalu menaikan brangkar Vano agar ia bisa duduk. Meminum airnya, Vano menghabiskan segelas penuh yang Ara berikan.

"Haus lo?"

Tak menaggapi ucapan Ara, Vano mencoba bangun dari brangkar namun segera ditahan oleh Ara.

Memegang kedua tangan Vano agar tetap bersender. "Jangan banyak gerak dulu! Lo tuh baru sadar dan rusuk lo masih patah."

"Apaan sih, gue mau bangun. Lepasin gak!" Tegas Vano menatap Ara tajam. Namun, bukan Ara jika takut dengan tatapan Vano.

"Gak usah so' mengintimidasi deh, gak mempan buat gue. Udah lo diam aja."

"Gue mau bangun!"

"Enggak!"

"Diandara Laudya Arya!"

"Gue, kenapa? Cantik? Udah tahu jadi gak usah dikasih tahu." Pede Ara sambil tersenyum bangga.

"Minggir!!"

"Enggak!"

Menarik nafas dalam, Vano tak tahan lagi. "Demi dewa Neptunus, Gue bilang minggir!!" Marah Vano karena Ara sudah mendekatkan wajahnya ke depan wajah Vano. Hingga badannya berada diatas Vano.

"Aduh tenaga lo gede banget sih! Gue harus gini-kan biar nahan lo. Dokter bilang lo tuh gak boleh banyak gerak dulu jadi diam di situ." Keras kepala Ara masih terus menahan Vano.

"ASTAGHFIRULLAH  ARA!! lo lagi ngapain? Inget Ra, dia itu abang lo sendiri ... nyebut Ra nyebut." Heboh Dion saat baru saja masuk ke dalam ruangan Vano. Bahkan nasi box yang dibawanya jatuh dengan tak elegan-nya.

"Apaan sih lo, kutil badak? Datang-datang udah kayak toa aja, berisik," Sewot Ara dengan posisi yang sama.

"Aduh Ra, gue tahu lo jomblo tapi bukan berarti lo embat abang sendiri." Lebay Dion dengan dramatis.

"Eh dodol enak aja main embat-embat, emang gue kerupuk gope-an apa! Lo lagi Ra, minggir gak? Kalau gak gue bisa ngompol di sini nih!" Kesal Vano tak tahan lagi.

Melepaskan Vano, Ara kaget bukan main. "Jadi lo bukanya mau nyamperin si Justin tapi mau ke toilet?"

"Iyalah dodol! Ngapain juga gue susah-susah nyamperin tuh anaconda. Ntar juga ke sini sendiri dia." Sewot Vano lalu begegas dengan tertatih menuju toilet sedangkan Ara masih berdiri mencerna apa yang terjadi.

"Ra? Lo masih normal-kan?" tanya Dion dengan hati-hati.



MY HERO BROTHER ✔ (proses revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang