Bab 31 [End]

852 43 13
                                    


"Stop running away, that's enough. You will only get hurt and suffer. So, stop being stubborn, stop hurting yourself and others."

-while you were sleeping-

Happy Readings ....

****

Malam dengan hujan gerimis ini membuat udara menjadi dingin, tak ada cahaya bulan ataupun cuitan suara hewan malam. Hanya ada gelap dengan dedaunan basah karena hujan. Ara duduk dengan Vano di rumah kaca taman rumah. Menatap lampu tumbler berwarna kuning yang terlihat indah menghias rumah kaca. Dengan segelas susu jahe di tangan masing-masing.

Tak ada yang memulai pembicaraan, hanya duduk setelah perdebatan yang diwarnai tangisan tadi. Mata cantik Ara masih terlihat sembab, hidung mancungnya pun terlihat memerah.

Dari arah jendela ruang keluarga, terlihat seseorang berdiri menatap punggung mereka. Memperhatikan satu punggung rapuh yang selalu bergetar saat menangis. Dion, satu-satunya teman yang masih bertahan di sisi Ara, rela menembus hujan sejak sore hanya karena mendengar kabar bahwa Ara tak mau makan sejak seminggu.
Tanpa memikirkan sejauh apa jarak mereka saat ini.

"Dion," panggil Melodi menepuk pundak Dion, tangan satunya memegang handuk putih.

"Tante."

"Ini, keringin dulu kepala kamu, nanti kamu sakit lagi. Kalau mau ganti baju pake punya Vano dulu aja, udah tante siapin di kamar tamu," ujar Melodi yang diiyakan oleh Dion, lalu kembali pergi.

"Iya tante, terima kasih."

Kembali menatap mereka, Dion langsung bergegas berganti baju, bajunya sudah basah kuyup akibat menggunakan sepeda motor tanpa jas hujan.

Di satu sisi, Ara menatap Vano lekat. Hidung mancung dengan pahatan wajah tegas membuat Vano terlihat tampan. Sejak kapan abang resenya ini terlihat tampan? Pikir Ara. Wajah itu yang selalu tersenyum dihadapan Ara. Melihat matanya yang tajam, mata itu, untuk pertama kalinya menjatuhkan air mata di hadapannya. Bibirnya merah itu, yang selalu mengucapkan kata penenang untuknya. Kebaikan apa yang Ara perbuat di kehidupan sebelumnya sampai ia terlahir sebagai adik seorang Vano? Rasanya seperti anugerah.

"Gue tahu, gue ganteng. Gak usah ditatap terus," ujar Vano dengan senyum jahilnya mengagetkan Ara. Membuang mukanya, Ara merasa malu karena ketahuan memperhatikan Vano.

"Apaan sih, pede banget." Senyum Ara pada akhirnya. Senyumnya kembali dan Vano senang.

"Gue masuk dulu, ada yang mau ketemu sama lo," ujar Vano bangkit dari duduknya lalu menepuk bahu Dion yang berdiri di ambang pintu kaca itu.

"Ra," panggil Dion saat Ara menengok padanya, dengen ekspresi tak terbaca, Ara menatap Dion yang berdiri dengan rambut basah.

Berjalan mendekati Ara, lalu duduk di samping Ara, Dion terus memperhatikan Ara yang menatap setiap gerak-geriknya. Jemari Ara menggenggam erat cangkir yang dipegangnya. Dari matanya, Dion tahu begitu banyak pertanyaan dipikiran Ara saat ini.

"Apa kabar?" tanya Dion memulai, walaupun ia tahu keadaan Ara tanpa perlu bertanya.

Tersadar, Ara menjawab dengan terbata. "B-baik, lo apa kabar?" tanyanya balik.

Menggangguk, seolah Dion menjawab bahwa ia baik-baik saja. Melihat Ara yang semakin kurus ini membuat hatinya sakit, harusnya ia datang lebih cepatkan?

"Gue seneng lo baik," ujar Dion setelah terdiam beberapa detik, "maaf," ucapnya pada akhirnya, memang sangat terlambat namun ia ingin mencoba.

"Buat apa?"

MY HERO BROTHER ✔ (proses revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang