Bab 18

540 38 8
                                    

Happy Readings ....

***

Suasana rumah duka itu terlihat begitu memilukan, tangisan kesedihan terus terdengar. Para kerabat juga pelayat lain terus berdatangan memakai pakaian serba hitam. Rumah dua lantai yang biasanya ramai itu kini menjadi kelam. Tenda dengan kursi untuk para tamu pun terpasang rapi di halaman, tak lupa bendara kuning yang berkibar sebagai tanda kematian.

Tak ada tawa lagi, hanya ada linangan air mata dari wajah mereka. Dion, Rafa juga Denis berjaga di depan menyambut para pelayat. Sedangkan Andi dan Reza membantu menyiapkan makanan untuk para pelayat.

Di satu sisi, kamar yang penuh tawa itu berubah dingin. Vano duduk dengan putus asa di lantai dingin dekat ranjang. Sosok jahil dan gesrek itu berubah sendu. Tak ada ide jahil ataupun kelakuan absurd yang selalu ditunjukannya.

Seseorang memasuki kamar Vano dengan berlinang air mata. Memakai pakaian serba hitam dengan selendang penutup kepala.

"Va-vano," panggilnya mendekati Vano.

Berbalik, Vano terlihat begitu terpukul. Matanya sembab dengan bibir kering pucat. Lelehan air mata terus mengalir kala melihat bundanya datang dengan tangisan.

"A-Ara," ucap Vano tercekat, bibirnya bergetar hingga pelukan Melodi membuat tangisnya benar-benar pecah.

"Ara ... Ara," lirih Vano dengan mengeratkan pelukannya. Tangisan Melodi pun ikut pecah, mereka pun meluapkan kesedihan dengan tangisan. Kata orang, saat mulutmu tak bisa berkata seberapa sakit hatimu, maka tangisanlah obatnya.

"Ini salah Vano, Vano gak bisa jagain Ara," ujar Vano dalam tangisnya.

"Bukan salah siapa-siapa," ralat Melodi karena tak setuju dengan ucapan putra satu-satunya itu.

"Vano ... gak berguna jadi Abang," ujar Vano terus menangis menyalahkan diri sendiri. Andai saja saat itu ia tak meninggalkan Ara sendiri, andai saja saat itu ia mengantar Ara, andai saja saat itu ia tak menyetujui pergi ke sana, andai saja. Semuanya hanya kata andai saja, karena nasi sudah menjadi bubur. Dan yang mati tak bisa hidup kembali.

"Kita ke bawah, ayah sudah menunggu," ujar Melodi saat Vano mulai tenang.

***

Suasana pemakaman sangat ramai, apalagi orang yang meninggal itu adalah sosok yang baik juga periang. Keberadaannya selalu membuat orang bahagia, terlepas dari seberapa absurd tingkahnya.

Liang lahat sepanjang dua meter itu di gali dekat makam mending kakeknya, tanah yang sudah jauh-jauh hari disediakan untuk keluarga. Para tukang gali kubur juga bapak-bapak yang lain mulai bersiap untuk menguburkan jenazah, dengan suasana haru biru jenazah pun di kebumikan. Bahkan langit cerah pagi ini pun seakan ikut menyambut kedatangan makluk tuhan itu.

Pemakaman pun selesai setelah pembacaan doa oleh ustad setempat. Para pelayat pun sudah mulai pulang hingga tinggalah teman-teman Ara dan Vano juga keluarga dan kerabat lain.

"Kita sayang sama lo," ujar Denis mengelus papan nisan itu.

"Maafin kita semua, semoga lo udah bahagia di sana," sambung Marsya mencoba tersenyum, namun air mata itu terus menetes membasahi pipinya.

"Kita pulang yah," ujar para orang tua dan mereka pun pulang setelah beberapa menit di sana.

Satu bulan kemudian ....

Tanah merah itu sudah tertutupi oleh rumput buatan, papan nisan pun telah diganti dengan batu nisan yang dibuat sangat indah. Seseorang duduk di sisi kanan dengan membawa sebuah rangkaian bunga mawar putih sebagai tanda penghormatan. Tak lama suara isakan pun mulai terdengar.

MY HERO BROTHER ✔ (proses revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang