Soundtrack: You are not alone- Michael Jackson
Happy Reading :)
-
-
Senyapnya malam membawa Melody sampai ke depan pagar rumahnya, selama perjalanan Luhan tidak mengatakan apapun. Mereka hanya berjalan menembus kesunyian. Luhan mengantar Melody dan perempuan itu menyetujuinya. Selesai seminar, Rachel memberitahu Luhan dan Melody bahwa ia masih memiliki urusan dengan professornya.
"Disini." Ucap Melody sambil melihat pintu pagar rumah lalu melihat Luhan.
Lelaki itu mengangguk, ini waktunya berpisah kembali dengan Melody, "Kau tinggal di Washington?" Tanya Luhan kikuk, "Maksudku, sudah berapa lama kau tinggal disini?" Tanya Luhan lagi.
Melody menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, "Belum lama, hanya Dad yang tinggal di sini sejak aku membaik." Melody mengulum senyum, "Mau masuk?" Tawarnya.
Luhan melihat jam tangannya, baru jam tujuh, "Boleh?" Luhan kembali bertanya.
Melody mengangguk lalu membuka pintu pagar, "Di depan sana rumah orang tua Keana." Jelas Melody sambil menunjuk rumah yang ada di seberang jalan.
Luhan mengangguk mengerti, lalu mengikuti Melody masuk ke halaman depan rumah.
"Dad, I'm here." Ucap Melody ketika mereka masuk ke dalam rumah.
Alex berada di ruang tamu, rumah ini terbilang kecil namun tidak terlalu kecil, sangat cocok untuk pasangan yang baru saja menikah. Ruang tamu langsung berbatasan dengan dapur, ada satu kamar di lantai satu, dua kamar dilantai dua. Melody menyukai rumah ini karena halaman depannya yang luas, sangat indah.
Alex tengah menonton, ketika menoleh kesumber suara ia langsung berdiri dan terkejut melihat Luhan yang berada dibelakang Melody.
Melody hanya tersenyum canggung melihat ekspresi Ayahnya, Alex berjalan mendekat.
Luhan menyalami Alex, tangannya dingin, "Apa kabar Mr. Alex?"
Alex memeluk Luhan untuk menghangatkan lelaki itu, Luhan seperti baru kembali dari kutub, "Baik, saya baik-baik saja Luhan." Melody mendahului mereka yang masih berdiri diambang pintu menuju dapur, rasanya aneh sekali melihat mereka reuni seperti itu, "Silahkan duduk." Ajak Alex ke ruang tamu setelah melepaskan pelukannya.
Luhan mengikuti Ayah Melody dengan canggung. Luhan melirik kearah dapur, Melody tengah sibuk memanaskan air.
"Dia juga sudah baik-baik saja." Ucap Alex saat melihat Luhan terus menerus menatap putrinya.
Luhan langsung menatap Alex lalu ikut duduk, televisi masih menyala, itu lebih baik daripada tidak ada suara sama sekali. Alex mengecilkan suara televisinya tanpa mematikan.
"Maafkan saya Luhan tidak memberitahumu ketika pindah ke sini." Ucap Alex menyesal.
Luhan bergeming, "Anda tidak perlu mengatakan itu. Melihat kalian baik-baik saja sudah lebih dari cukup." Ucap Luhan tulus.
"Kau masih menyukainya?" Bisik Alex.
Luhan hanya diam, dia tidak hanya menyukai Melody, tapi masih mencintai.
"Dad, jangan katakan hal buruk tentangku kepada dokter Luhan." Ucap Melody menyela percakapan, ia membawa dua gelas teh hangat.
Alex berdeham, "Aku tidak mengatakan apupun." Sela Alex, lalu mengambil segelas teh. Ia berdiri, "Aku akan kekamarku." Ucapnya.
Melody menyipitkan matanya tak percaya, "Kumohon jangan tinggalkan kamu Dad." Batin Melody.
Alex hanya tersenyum lalu masuk ke kamar.
"Silahkan diminum." Ucap Melody lalu duduk di sofa.
Luhan mengambil gelas lalu menghirupnya, ia melihat kesekeliling ruangan. Mengamati ruangan tersebut lalu matanya jatuh ke sebuah foto di atas meja disamping televisi. Foto Melody menggunakan toga, itu pasti hari kelulusan perempuan itu.
"Tahun lalu, ketika aku selesai kuliah kedokteran spesialis mata." Ucap Melody ketika menyadari Luhan tengah melihat fotonya.
Mata Luhan beralih ke Melody, rambut pirang, mata biru, sikap sopan Melody tidak pernah berubah. Ingin sekali rasanya memeluk Melody.
"Boleh kuceritakan sesuatu." Ucap Melody memecahkan keheningan.
Luhan terkesima, lalu mengangguk, "Tentu." Sahutnya.
"Apa yang akan kau lalukan ketika tahu seseorang yang kau suka membohongimu?" Tanya Melody.
Luhan menyipitkan matanya, "Itu bukan cerita, itu pertanyaan Melody." Jawabnya.
Melody menatap Luhan tidak percaya, lelaki ini sedang bercanda?, "Jawab saja." Suara Melody terdengar ketus dan raut wajahnya berubah kesal.
Luhan menahan tawa, "Kau marah?" tanyanya sambil tersenyum, sudah lama tidak melihat Melody seperti ini. Atau belum pernah, Luhan lupa jika Melody memiliki ekspresi semenggemasan ini.
"Tidak." Ucap Melody sambil melihat ke langit-langit.
Luhan tertawa, "Aku tidak tahu kau ternyata bisa marah."
"Lupakan saja." Ujar Melody. Lalu mantap layar televisi. Iya tidak bisa melihat wajah Luhan lagi, sungguh memalukan.
"Aku akan memaafkannya." Ucap Luhan lembut, Melody menoleh.
"Kenapa?" Tanyanya, "Dia telah melukaimu dengan cara berbohong."
Luhan melihat kelayar televisi, lalu mengangkat kedua bahunya, "Entahlah, karena aku menyukainya, tidak masalah jika dia berbohong, selama aku menyukainya aku akan memaafkannya."
Tenggorokan Melody tercekat, "Bodoh." Gumamnya, lalu ikut melihat televisi.
"Ingin kuceritakan satu hal?" Tanya Luhan lalu melihat Melody.
"Apa?" Melody membalas tatapan Luhan.
"Aku pernah menyukai seseorang, bahkan sangat mencintainya. Namun, suatu hari tiba-tiba dia menghilang dan aku tidak bisa menemukannya. Dia pergi tanpa bilang selamat tinggal, rasanya aku kehilangan semuanya, aku seperti dibiarkan terluka dan patah. Tapi ketika kutemukan dia baik-baik saja dan bahagia, semua terasa melegakan." Luhan menatap mata Melody lalu tersenyum.
Melody mengalihkan pandangan, "Kenapa kau ceritakan hal seperti itu padaku?"
"Aku ingin dia tahu, saat semua ingatannya kembali, aku harap dia bisa kembali bersamaku." Luhan mengabaikan pertanyaan Melody. Lalu ikut menatap televisi lagi.
"Kenapa masih mencintainya ketika kau tahu dia telah melukaimu?" Melody menahan tangis, suaranya mulai berubah.
"Karena aku mencintainya." Ucap Luhan lalu bersandar di sofa.
Melody bergeming, mereka masih menatap kosong ke arah televisi.
Melody menunduk menghapus air matanya, "Ceritamu menyedihkan sekali."
Luhan tertegun melihat Melody menangis, "Kau baik-baik saja?" Tanyanya.
Melody menghapus air matanya lagi, lalu mengambil tisu yang ada diatas meja, "Kenapa kau ceritakan hal seperti itu padaku?"
"Maafkan aku, aku tidak bermaksud." Ucap Luhan dengan nada menyesal.
Mata Melody berkaca-kaca dan memerah, "Perempuan itu tidak pantas kau cintai." Ucapnya sambil melihat Luhan.
-
-
-
To be continued
Vote dan komentarnya jangan lupa
Terimakasih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny of Love "Blue Eyes" [END]
Любовные романыMelody Angeline, gadis berambut pirang yang jauh- jauh magang di salah satu rumah sakit ternama NYU Langone Medical Center New York, Amerika Serikat. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran dari Harvard University, Melody tidak pernah berfikir untu...