Soundtrack : Journey-Open Arms
Happy Reading :)
-
-
Jam dinding terasa berdetak sangat kencang dikeheningan. Harusnya tidak berakhir seperti ini, harusnya Luhan tidak bertemu dengannya lagi, harusnya Rachel tidak membawa Luhan ke sini, Harusnya Luhan tidak memenuhi undangan pribadi professornya Rachel. Masih banyak harusnya-harusnya yang lain.
Melody menunduk lemah di meja kerjanya. Ruang kerja pribadinya terletak di lantai dua rumah milik Mike. Sebenarnya, ini direncanakan menjadi ruang kerja Mike di masa depan. Ruangan ini sangat nyaman dan luas, dan terdapat blakon yang mengarah langsung ke jalanan di Washington, kota yang tidak pernah sesenyap ruang kerja Melody.
Bagaimana mungkin sesuatu yang telah dengan rela dilepaskan memilih kembali pulang untuk digenggam. Tidak, mungkin saja ini semua hanya kebetulan. Namun, jika dipikirkan lebih keras, Luhan dan Rachel selama ini masih dekat. Rachel yang paling tahu Luhan, dan Rachel yang paling mengerti Melody.
Melody meraih Iponenya, ia mencari nama Rachel, ia mengirim pesan teks kepada Rachel untuk bertemu dengannya besok.
***
Di sebuah caffee di dekat rumah sakit, Melody dan Rachel bertemu ketika jam makan siang. Itu sama-sama tidak akan mengganggu jam kerja mereka.
"Ada apa?" Tanya Rachel sambil menyantap makanan yang telah mereka pesan.
Melody melihat ke sekelilingnya, "Kau tidak bersama Luhan?" Tanya Melody ragu.
Rachel tersenyum, lalu menyipitkan matanya kepada Melody, "Kau tidak bilang aku harus datang bersamanya."
Melody langsung menggeleng, "Bukan itu maksudku." Melody menundukkan pandangan, "Bagaimana keadaannya?"
Rachel meletakkan sendoknya lalu melihat Melody dengan serius, "Sebenarnya ada apa Mel? Selama ini kau tidak pernah bertanya tentang keadaan Luhan, bahkan ketika aku menyebut namanya kau langsung mengalihkan pembicaraan."
"Aku tidak ingin dia terluka karena aku." Melody menggengam tangannya di bawah meja, menenangkan emosinya dan juga mencoba percaya diri akan keputusannya tiga tahun lalu.
"Kau telah melukainya sejak tiga tahun lalu."
"Aku tahu, tapi kau juga tahu ada banyak hal yang harus ku tebus selama tiga tahun." Melody masih menundukkan kepalanya, "Jantung ini bukan milikku Rachel, aku tidak bisa diam-diam bahagia sedangkan orang-orang yang menyayangi pemilik jantung ini tidak bahagia."
"Kau sudah cukup membahagiakan orang lain Melody, kau juga harus bahagia."
"Aku juga tidak bisa menerima kebahagiaan dari orang yang sudah aku lukai." Melody mulai membalas tatapan Rachel.
"Tapi Mel... Sekali ini saja, beri dirimu sendiri kesempatan, dan Luhan." Rachel menarik nafas dalam, "Dia masih mencintaimu."
"Aku yang meninggalkannya, Aku yang tidak mampu mempertahankanya. Aku tidak pantas untuk menerima kesempatan yang kau pikirkan." Melody menatap Rachel dengan putus asa.
Rachel menggeleng, "Ini bukan hanya untukmu Mel. Ini untuk Luhan, kau yang melukainya dan kau juga yang harus menyembuhkannya."
***
"Mel, are you okay?" Tanya Marcell ketika melihat Melody melamun. Mereka tengah di Bandara, Marcell akan kembali ke New York.
Melody mengerjab, lalu mengangguk, "I'm fine." Ucapnya tersenyum, "Kau harus mengabari aku ketika sudah sampai, dan titipkan salamku untuk Kate."
Marcell mengelus kepala Melody, "Aku tidak ingin kembali ke New York jika keadaanmu seperti ini." Ucapnya khawatir, Marcell tidak menyangka Melody dan Luhan akhirnya dipertemukan oleh takdir.
Sejak mengenal Melody selama tiga tahun, Melody sudah seperti adik bagi Marcell, jantung Andrea memang hidup di tubuh Melody, namun untuk menjadi seorang pengganti Andrea hanya karena jantung. Marcell tidak akan melakukan hal itu, ia mengisi kekosongan dihati Melody sebagai seorang kakak laki-laki. Melody membutuhkan itu, dan itu juga yang membuat Marcell bisa selalu dekat dengan jantung Andrea.
"Kau tidak perlu melakukannya." Ucap Melody meyakinkan.
"Dengarkan aku, jika terjadi sesuatu kau harus menelponku atau Kate." Melody menganguk sambil tersenyum.
***
Luhan melihat sekeliling ruang seminar, ia duduk tepat di samping Rachel. Sosok yang ditunggunya sejak tadi tidak kunjung muncul. Seorang pembawa acara membuka seminar dengan memperkenalkan pemateri.
Ketika melihat ke pintu masuk, Melody datang dengan sedikit berlari. Luhan yakin Melody baru saja berlari. Melody melihat Luhan dan Rachel. Namun ia memilih untuk duduk di kursi dekat pintu masuk. Luhan bernafas lega karena Melody datang, ini hari kedua dia melihat Melody, dan gadis itu tidak bersama Marcell.
Sepanjang acara Luhan selalu melirik ke pintu masuk, ia melihat Melody tengah serius mendengarkan persentasi. Sesekali rambut pirang Melody menutupi wajahnya ketika gadis itu menunduk untuk mencatat beberapa point penting selama persentasi.
Diakhir acara, professor memanggil Rachel untuk maju dan menjelaskan beberapa point dalam dunia psikolog. Rachel maju ke depan, Luhan melihat Melody menatap Rachel dengan bangga. Melody tersenyum dan bertepuk tangan ketika Rachel naik ke podium.
Luhan tidak bisa menahannya, ia lalu bangkit dan berjalan mendekat ke pintu masuk. Ia duduk di sebelah Melody, membuat gadis itu memasang wajah terkejut.
"Kau disini." Sapa Luhan.
Melody melihat kearah Luhan, ia menggaruk tengkuknya yang tidak gatal lalu mengangguk. Sangat sulit mengontrol tingkah laku ketika dekat dengan Luhan.
"Marcell?" Pertanyaan Luhan menggantung.
"Dia sudah kembali ke New York kemarin." Jawab Melody, Luhan hanya mengangguk dan mengalihkan pandangannya ke depan, ke tempat Rachel sedang menjelaskan sesuatu.
"Maafkan saya yang tidak mengenali anda malam itu." Ucap Melody lirih, ia menunduk menatap buku catatannya. Seketika Luhan menoleh, "Ingatan saya memang buruk, maafkan saya dokter Luhan, padahal anda atasan saya magang." Jelas Melody.
Luhan bergeming, "Club?" Melody mengangguk, "Aku akan memaafkanmu jika kau berhenti bicara formal padaku." Luhan kembali melihat ke podium, "Kau dan Rachel bersahabat, aku juga bersahabat dengan dia, kita juga bisa melakukan hal yang sama."
Itu tidak mungkin, pikir Melody. Dulu saat mereka bertemu awal mulanya juga berteman hanya karena mereka sama-sama dekat dengan Rachel.
Melody tidak berencana memberitahu kebenaran tentang ingatannya. Luhan masih tidak tahu jika Melody sebenarnya telah mengingat semuanya sejak tiga tahun lalu. Namun, jika Luhan masih mau membangun jembatan diantara mereka yang sudah dengan paksa Melody putuskan, Luhan harus tahu kebenaran bahwa Melody sengaja meninggalkan Luhan.
Luhan mungkin akan memaafkan Melody karena ia berpikir Melody meninggalkannya saat hilang ingatan. Tapi kebenarannya, Melody tetap meninggalkan Luhan ketika ingatannya telah kembali. Bisakah Luhan memaafkannya? Ataukah Luhan akan membenci Melody?
-
-
To be continued
Vote dan komentarnya jangan lupa.
Terima kasih
KAMU SEDANG MEMBACA
Destiny of Love "Blue Eyes" [END]
RomantizmMelody Angeline, gadis berambut pirang yang jauh- jauh magang di salah satu rumah sakit ternama NYU Langone Medical Center New York, Amerika Serikat. Ia adalah seorang mahasiswa kedokteran dari Harvard University, Melody tidak pernah berfikir untu...