"Sekolah jadi lebih menyenangkan setelah gue tahu ada lo."*****
Seminggu berlalu, ujian tengah semester yang menguras tenaga serta pikiran gue dan murid yang lainnya udah berakhir. Setidaknya, gue bisa bernafas lega. Meskipun sedikit, karena gue udah kelas 12 dan pastinya bakal banyak ujian-ujian lain yang harus dilewati untuk menuju satu kata. Lulus.
Gak lama lagi, gue bakal kejenjang pendidikan yang lebih tinggi. Pertanyaan-pertanyaan akan universitas mana yang bakal gue pilih pun menjadi pertanyaan yang gak pernah absen ketika lagi kumpul sama temen sekelas. Gue belum kepikiran, mau masuk universitas atau perguruan tinggi mana. Bukan gue gak peduli sama pendidikan, gue cuma pengen menikmati waktu yang sedikit ini di SMA dengan mengukir lebih banyak lagi kenangan indah misalnya. Ea.
Ngomong-ngomong, sekolahan gue ini terdiri dari SMP, SMK dan SMA. Gue di SMA-nya, dulu gue sempet milih SMK tapi jurusan yang gue mau belum ada di sekolah ini. Gue pengen masuk jurusan TKJ padahal gue gak jago perihal Komputer, hahaha
gak tahu kenapa, waktu itu di mata gue anak-anak TKJ tuh keren. Karena jurusan yang gue mau gak ada. Jadi, gue milih SMA dan berakhir jadi siswi jurusan IPS.
Sekolah yang terletak di Bogor dan agak unik ini karena ada peraturan apel masuk dan apel pulang. Ya, semacam penerapan kedisplinan. Apel pagi masih gue maklumin sih, cahaya matahari nya bikin sehat. Lah kalo apel pulang? Anjir! nyiksa! Harus berbaris dilapangan ditemani terik matahari yang ada diatas ubun-ubun dan tentunya bikin kulit item. Jangan heran, di SMA ini gue dekil. Item. Pendek. Hidup lagi. Gak ada deh, visualisasi cantik masa remaja. Kalo tiap hari mesti dijemur kaya gini.
"Woi, yang pendek didepan!" teriak si Dandot, nama aslinya sih Dani. Tapi temen sekelas pada manggilnya Dandot, gak tahu alasanya apa. Gak pernah nanya soalnya, malas juga. Gue sih ikut-ikut aja manggilnya Dandot.
Gue melotot, si Dandot teriak pas banget deket kuping gue. "Gak usah teriak-teriak, bisakan Dot?"
Dandot cengengesan. "Takut gak pada denger, makanya gue teriak. Sono lo baris didepan. Ngapain lagi lo dibelakang, ranahnya cowok-cowok nih. Sono baris didepan, lo kan pendek." sambil ngedorong pelan bahu gue.
Tolong ya, tolong. Boleh lah nyuruh gue baris didepan. Tapi, tolong. Kata pendeknya gak usah ditekenin dan diperjelas gitu, sakit juga dengernya.
Gue pun mendorong bahu Dandot. Tanpa berlama-lama gue pun baris di barisan ke dua. Gue lagi gamau baris paling depan. Biasanya gue langganan baris paling depan, sebenernya itu bukan kemauan gue. Gue tuh cuma jadi korban mereka yang menilai kerapihan gue perlu dipajang dan ditunjukan didepan barisan.
Padahal gue tahu itu cuma alasan temen-temen gue aja, Toh masih banyak yang pakaiannya rapih selain gue. Tapi kenapa selalu gue yang dijadiin umpan buat baris paling depan? Gak enak tauk! Gak bisa ngapa-ngapain. Kudu berdiri tegak kaya patung.
Mata gue melirik sekitar. Berhenti tepat disatu titik, mata gue sedikit melebar. Memperjelas bahwa yang gue lihat memang benar cowok itu. Cowok dari kelas 10 IPS yang akhir-akhir ini menganggu pikiran gue.
Disana, di barisan kelasnya. Dia lagi berdiri kaku tanpa ekspresi dengan topi menutupi setengah mukanya.
Rian Prastyo.
Gue pun menoleh kebelakang. Sumi mengernyit, lalu mulutnya bergerak tanpa suara. "Apa?" begitu yang gue tangkap.
"Mi, tukeran dong. Gue pengen baris dibelakang lagi gak enak badan nih." kata gue berbisik.
Sumi emang anak yang baik hati. Tanpa bertanya lebih banyak lagi, dia bersedia tukar barisan sama gue.
Gue melirik barisan dimana Rian berdiri tanpa ekspresi. Ya, gimana gue mau liat ekspresinya? Orang mukanya dia aja cuma keliatan hidung sampe mulut doang. Mungkin kalo topinya dilepas gue bisa lihat semua mukanya, btw... Jadi penasaran gue.
KAMU SEDANG MEMBACA
RINAY
Teen FictionDari awal emang gue udah jadi bucin. Tapi, gak sadar. Hahaha Cowok kelas 10 yang gak pernah lepas dari topi sekolahnya, mau pas istirahat, ke toilet, ke perpustakaan, ke bagian Tata Usaha, gue gak pernah lihat itu topi lepas dari kepalanya. Mungkin...