16. Berlabuhnya Hati

438 48 10
                                    

1 bulan kemudian..

Satu bulan telah berlalu. Selama itu pula Hilda mempertahankan hubungannya dengan Gibran, meski dengan desakan yang membuatnya tak tenang.

"Kak Nikma bisa ngomong sebentar!" ucap Hilda setelah selesai latihan Volley.

Nikma hanya menatap Hilda dengan jengah.

"Untuk yang sekian kalinya aku minta maaf!" ucap Hilda menatap Nikma penuh harap.

Sudah satu bulan ini Nikma memusuhinya setelah tau ia berpacaran dengan Gibran. Teman-teman senior yang Hilda kenal bahkan kini sedikit menjauhi Hilda. Hilda tau jika ia dijadikan bahan topik pembicaraan oleh seluruh sekolah.

Selama ini Hilda berusaha meminta maaf tapi jawabnya hanya sama. Hilda  hanya ingin hubungannya dengan Gibran baik-baik saja, begitupun dengan pertemanannya.

"Lo gak perlu minta maaf. Lo gak salah!" ucap Nikma lalu pergi begitu saja.

Hilda menatap punggung Nikma yang mulai menghilang. Ia tersenyum kecut, mungkin Nikma memang bilang sudah memaafkannya. Tapi percuma karena itu sama sekali tak tulus.

"Mungkin gue emang harus terus berjuang untuk hubungan ini."

🏐🏐

Hilda menghampiri teman-temannya yang tengah makan dimeja kantin. Ia duduk disamping Putri, sedangkan didepannya terdapat Dila, Riska dan Clara.

"Tuh udah gue pesenin." ucap Clara sambil menunjuk semangkuk soto didepan Hilda.

"Makasih Clar." ucap Hilda dengan senyumnya.

"Masama."

Hilda segera melahap semangkuk soto yang menggugah selera makannya.

"Udah selesai latihan Volleynya Hil?" tanya Putri sembari melahap makanannya.

"Udah." jawab Hilda singkat.

Hilda menatap Dila yang duduk didepannya.

"Lo gak makan Dil?"

"Makan kok. Nah tuh makanan gue dateng." jawab Dila dengan senyum.

Hilda masih menatap gadis manis itu erat. Memperhatikan Dila yang menerima semangkuk sup dengan senyum mengembang diwajahnya.

Hilda tersenyum kecut. Ia tau Dila itu gadis baik, ia juga tau bahwa gadis itu memendam perasaan pada kekasihnya, Gibran. Entah kenapa dilubuk hati Hilda yang terdalam ia merasa iba. Ia tak tega melihat gadis manis itu tersenyum palsu, tertawa dalam kepedihan.

Lamunan Hilda tersadar ketika ponselnya bergetar. Ia segera merogoh ponselnya disaku.

Iklasin aja Nikma buat Gibran!, lo gak ngerasa kasian sama Nikma? .

Hilda menghembuskan nafas beratnya. Lagi-lagi pesan dari teman Nikma. Ia sering mendapat pesan seperti ini, ia tau Nikma tak terlalu mengancam atau bahkan membuly seperti Izka. Tetapi kalau boleh jujur Hilda justru tidak suka cara seperti ini. Menyembunyikan kebencian justru membuat Hilda merasa bersalah, dan membuat ia tampak yang jahat disini.

HILDA & MEDA{✓}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang