first day but not very first

176 23 11
                                    

Pukul 4.30 aku dan Winda sudah berangkat ke kampus untuk ospek, memang, sih, namanya sekarang bukan ospek. Melainkan masa orientasi, namun bagiku sama sajalah. Begitu-begitu juga intinya, mungkin bedanya tidak ada perpeloncoan seperti dulu-dulu.

Rambutku diikat satu rapi dengan tali rambut hitam supaya tidak mencolok, tidak lupa pita merah yang semalam dibeli, aku gunakan sebagai bandana.

Ah, mengingat semalam, aku jadi geli sendiri.

Sepatuku hitam polos dengan kaus kaki putih sepanjang betis, tentunya aku menggunakan seragam hitam putih. Kemeja panjang putih dan rok standar sepanjang lutut berwarna hitam. Aku juga menggunakan name tag yang dikalungkan, di sana tertuliskan nama dan jurusanku serta foto formal ukuran 3x4. Aku merasa seperti SPG sekarang, bedanya aku tidak menggunakan make up. Aku hanya menggunakan sunscreen agak banyak dan pelembab, juga lipbalm. Bisa rontok gigiku kalau berani make up di hari pertama ospek.

Aturan dari fakultasku cukup santai, hanya menyuruhku berpenampilan seperti itu, lihat saja aturan fakultas si Winda, cewek itu harus menyanggul rambutnya. Katanya supaya mencirikan anak Indonesia, terserahlah. Belum lagi Winda wajib menggunakan sepatu pantofel dan dasi hitam, sudahlah dia cocok menjadi bell girl.

Kami berdua berjalan kaki menuju kampus, toh jaraknya juga hanya 300 meter. Aku berjalan sambil sibuk memakan roti, maklum karena aku punya penyakit maag. Bisa berabe kalau aku tidak sarapan dulu.

"Gue risih liat lo makan sambil jalan, Za," kata Winda yang sama sekali tidak aku pedulikan. "Eh itu di depan ada temen gue. Duluan ya, Za! Jangan lupa minum air biar gak seret!" Winda berlalu setelah menepuk punggungku dengan keras, membuatku tersedak karena kaget.

Kurang ajar! Sok-sok-an mengingatkanku untuk minum, padahal dia sendiri membuatku tersedak!

Aku minggir sebentar karena terbatuk-batuk, sekalian aku merogoh ransel untuk mencari botol minum. Karena batuk, aku jadi agak sulit mendapat botol minum. Terlalu banyak barang bawaanku sehingga sepertinya botol minumku terselip.

"Nih, minum pelan-pelan. Kamu mah ada-ada waé¹ atuh masih pagi juga." Si Nangka tiba-tiba ada di sampingku, ia memberikan sebotol air yang langsung kutenggak. Semoga saja airnya tidak beracun.

Si Nangka mengusap-usap punggungku, setelah merasa lebih baik aku lantas menoleh padanya. "Modus, ya, ngusap-ngusap punggung?" ujarku seperti menuduh.

"Astagfirullah, enggak ih, sumpah! Aku mah gak ada niat apa-apa atuh ey, cuma nolongin." Di luar dugaan reaksinya konyol sekali, wajahnya sangat serius dan jari telunjuk serta jari tengahnya mengacung tanda peace. Kalau dia berekspresi begitu, aku malah jadi ngakak.

"Ih ketawa kamu mah, sumpah da aku nggak ada niat jahat," katanya lagi dengan logat si Kabayan.

"Iya, iya! Bercanda gue juga. Btw, thanks, ya airnya, sampe sisa setengah gitu."

"Oh iya, nggak apa-apa. Buat kamu aja."

"Jadi lo jijik minum bekas gue? Oke, siniin!"

"Ya Allah, sumpah gak gitu maksud aku! Haduh, nggak, beneran nggak jijik. Buat kamu téh biar kamu nggak haus, gitu."

Melihat ekspresinya aku jadi semakin jahil, ternyata seru juga mengerjai si Nangka ini. "Halah, bilang aja lo emang jijik."

"Enggak, Neng, masyaallah! Nih, ya, liat, nih, aku minum, nih!" Kemudian dia benar-benar menenggak airnya sampai tandas, wajah seriusnya masih terpatri membuatku geli. "Tuh ya, aku abisin. Masa iya atuh aku jijik sama kamu?!"

Aku tertawa. "Gue cuma bercanda, sumpah."

Dia menghujamkan tatapan kesal, sedetik kemudian dia menyubit kedua pipiku dengan gemas. "Dasar, ya, kamu! Usil pisan jadi orang!"

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang