plan

110 16 20
                                    

Aku terkejut, pagi-pagi Bayan sudah ada di teras indekos. Dia tidak mengabariku sama sekali, aku juga tahu dari Winda yang turun ke bawah untuk membeli shampo ke kios Uda Faisal.

Penasaran, aku pun segera menghampirinya.

"Lo ngapain?" ujarku, tanpa basa-basi.

"Eh, Neng," Bayan tersenyum canggung, tangannya menggerayangi tengkuknya. "Tau dari temen kamu, ya?"

"Lo ngapain pagi-pagi ke sini? Mau ketemu Misel?"

"Ih, masa iya atuh. Sebenernya ...."

Aku melipat tangan di dada dan menatapnya sedikit tajam, menunggu kalimat berikutnya yang akan dia katakan. Sebenarnya aku senang dia datang kesini, dan mau bicara lagi seperti biasa kepadaku. Tapi aku terlalu bodoh dalam berekspresi, aku malah menyambutnya dengan kalimat-kalimat bernada ketus.

"Aku pengen ketemu kamu, tapi takutnya kamu marah, terus téh gak mau gitu ketemu sama aku," ucapnya, dengan nada yang lesu.

"Ngapa jadi gue yang marah? Gue gak pinter rayu, makanya pas lo kacangin gue, ya udah."

Lagi-lagi Bayan menggaruk tengkuknya. "Udah sarapan?" tanyanya.

"Udah."

Cowok itu diam lagi. Aku ingin bertanya banyak tentang kejadian kemarin, namun aku takut ini bukan saat yang tepat.

"Aku minta maaf ya, Neng."

"Hm."

Hening menyelimuti kami berdua, Bayan terlihat kebingungan. Kalau dia saja bingung, apalagi aku. Dia marah tanpa sebab, lalu menuduh aku yang marah, dan meminta maaf.

Satu hal terpikirkan olehku, sepertinya perlu kutanyakan supaya mengusir canggung diantara kami.

"Yan!"

"Neng!"

Sial! Kenapa harus bersamaan, sih?

"Iya, kenapa, Neng?" ujar Bayan. Sebetulnya aku penasaran apa yang ingin dia katakan, cuma daripada ada drama berebut siapa duluan yang bicara, lebih baik aku jawab saja pertanyaannya tadi.

"Tadi lo nanyain soal sarapan, lo belom makan, kan? Mau gue temenin?"

"Oh, itu ... hng ...."

"Tapi tunggu bentar, gue siap-siap dulu."

"Eh, Neng, emangnya gak apa-apa gitu?"

Aku mendengkus. "Kenapa, sih, kalau kita mau jalan lo selalu nanya gitu? Nih ya, kalau gue keberatan ngapain gue mau jalan sama lo?"

Bayan terkekeh seraya menggaruk tengkuknya lagi, sebelum dia menjawab aku segera melesat menuju kamarku untuk berganti baju. Untungnya aku sudah mandi, jadi Bayan tidak perlu menungguku lebih lama lagi.

•••

Bayan membawaku ke suatu rumah, aku menduga itu adalah rumahnya. Gila, kalau tahu dia mau sarapan di rumah aku takkan mau menemaninya. Awkward-lah! Kalau nanti ditanya-tanya oleh keluarganya, bagaimana?

"Bentar ya, aku ambil tas aku dulu. Biar bisa langsung ke kampus, sekalian juga nih, naro motor si Bulet. Hehehe."

Mendengarnya mengatakan hal itu, aku lantas turun dari motor yang kami tumpangi. Aku baru sadar Bayan mengendarai motor yang berbeda—motor milik Fauzan. Aku menunggunya di pekarangan rumah, banyak tanaman disini. Mulai dari bumbu dapur, obat-obatan, sampai tanaman hias seperti bunga anggrek bulan, anyelir, dan tanaman lidah mertua. Aku sedikit paham tentang tumbuhan, jadi hanya melihatnya pun sudah aku ketahui jenisnya. Mereka terawat dengan baik, juga tersusun secara cantik.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang