jealousy

116 21 24
                                    

A/n: Terimakasih sudah bertahan, mau membaca cerita ini dan mengapresiasi. God bless you all 🌹
Aku mau rekomendasiin lagu jadul, 70's nih xixi. Bener deh, sederhana liriknya, tapi ngena. Aku gak nemu versi remastered atau yg remake, tapi enak kok! Kalo penasaran, silakan klik mulmed atau cari di aplikasi musik kalian yaa❤️

🌻🌻🌻

Now playing: Jealousy - Queen

•••

Diam-diam aku terus memerhatikan Bayan, di tengah perkuliahan ia meminta izin untuk ke kamar mandi. Aku lihat si Bulet mengelap meja Bayan menggunakan tisu, sudah dapat dipastikan jika cairan merah di tangan Bayan adalah darah.

Tapi kenapa ia melakukannya? Meremukkan pulpen berbahan fiberglass sampai melukainya.

Betul kata Rahma, aku harus menjelaskan sesuatu pada Bayan. Setidaknya aku bertemu dengannya saja dulu, sebab dia melakukan itu tepat ketika memerhatikanku bicara dengan Musa.

Kuliah pertama hanya diisi dengan perkenalan, karena itu aku tahu kalau Musa berasal dari kota ini. Jadi ketika pindah domisili, ia berpindah kemari ternyata. Perkuliahan pertama pun telah berakhir, ada jeda 45 menit untuk ke perkuliahan berikutnya.

Kesempatan ini aku gunakan untuk menemui Bayan, Rahma dan Marlena juga menyuruhku untuk menemui cowok itu. Ketika aku hendak mengejar Bayan, Musa menahanku.

"Mau ke kantin, lo?" tanyanya.

"Hng ... itu, gue ada perlu dulu. Duluan, ya." Aku mengempaskan tangan Musa yang melingkar di pergelangan tanganku, buru-buru aku berlari mengejar Bayan. Semoga dia belum jauh.

Aku melihatnya di depan lift, akhirnya. Melangkah pelan untuk menghampiri Bayan, si Bulet yang ada disampingnya melihatku dan langsung berkata sesuatu pada Bayan. Setelah itu si Bulet menghampiriku, menarik tangan dan membawaku menjauh dari Bayan.

"Gue cuma mau bilang, lo jangan dulu nemuin Bayan atau contact dia. Tunggu sampe dia yang nemuin lo," katanya dengan tegas.

Posisiku seakan dihimpit oleh si Bulet, dia membawaku ke ujung koridor dan membuatku bersandar di dinding. Ditambah nada bicaranya yang penuh penekanan. Aku baru tahu dia seseram ini.

"Emang napa, sih? Gue kan cuma mau nyapa dia doang," ujarku sedikit nyolot, pasalnya si Bulet mengeratkan cekalan tangannya pada pergelanganku dan tangan yang satunya bertumpu pada tembok, seperti tengah mengintimidasi.

"Lo gak perlu tau, lo cuma harus nurut. Udah, percaya aja, yang gue bilang ini buat kebaikan lo juga."

Setelah mengatakan itu si Bulet pergi, meninggalkanku dengan pergelangan tangan yang memerah. Sedikit ngilu, tapi tak apa. Saat aku mendongak dan melongok mencarinya, dia sudah pergi tanpa jejak. Dasar si Bulet, jalannya cepat sekali.

Aku mencoba mencari jejak si Bulet ataupun Bayan, namun hasilnya nihil. Mereka sudah tak ada di tempat sebelumnya yang tadi kulihat, sekarang aku tak tahu harus mencari kemana.

•••

Puas aku mengelilingi fakultas, bukan Bayan yang kutemukan malah kakiku lemas karena luasnya fakultasku ini mirip seperti pusaran Kakbah. Hm, sepertinya aku terlalu berlebihan.

Dengan lunglai aku berjalan masuk ke kelas, duduk di bangku yang terletak disamping kiri Rahma yang bersebelahan dengan Marlena. Baru saja bokongku mendarat, keduanya langsung menghujamku dengan pertanyaan tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Bayan.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang