inilah akhirnya

123 17 24
                                    

Selesai melakukan jurit malam, kami berkumpul, duduk di lapangan untuk bernyanyi bersama mengelilingi api unggun.

Aku berusaha menyelinap ke kelompok Rahma, ingin bertemu dengannya, sejauh ini ... ia yang paling dekat denganku. Namun, usahaku gagal. Tim disiplin itu berjaga terus di setiap kelompok hingga tak mungkin untukku pergi.

Berakhirlah aku dengan duduk di baris paling belakang, bersandar di batang pohon. Siapa tahu ada kesempatan kabur, kan?

"Hei, lo kenapa? Sakit?"

Dia Adriana. Teman sekelompokku. Gadis ini sudah banyak dikenal orang karena fisiknya yang menonjol, tempo hari ketika ospek pun, ia yang menjadi pengantinnya Bayan untuk meramaikan penampilan drama. Ya, kuakui Anya sangat cantik, seperti artis-artis blasteran.

"Lo Zafrina, kan? Gue perhatiin dari tadi lo kayak gelisah, gak baur sama yang lain. Lo gak kenapa-napa, kan?" katanya lagi seraya duduk di sampingku. Astaga, anak ini sudah cantik, baik pula. Kupikir ia akan menjadi mahasiswi hits yang takkan mungkin menyadari kehadiranku.

Aku tersenyum. "Gue ... gak apa-apa. Pengen sendiri aja," sahutku.

"Oh, gue ganggu, ya?"

"Eh, enggak, Adriana. Maksud gue, gak apa-apa kalau lo mau di sini."

Ia balas tersenyum. Astaga, cantiknya. "Panggil aja gue Anya, Zaf."

"Iya, Nya."

Kami berdua diam. Memerhatikan api unggun raksasa yang kami buat, dan mendengarkan semua orang bernyanyi sambil menghangatkan diri.

"Lo ... ada masalah sama Bayan, ya?" tanya si Anya begitu saja, membuatku terperanjat.

Kenapa ia bisa tahu?!

"Sorry, gue enggak ada maksud ikut campur urusan personal lo. Gue cuma nebak aja, lo sama Bayan, kan, keliatan sering berdua. Sekarang, di momen 'hangat' gini kalian malah jauhan." Ia tersenyum lagi.

"Gak. Kita gak sedeket itu, kok. Dia ... udah ada cewek."

"Gak mungkin."

"Tanya aja sama orangnya."

Anya terlihat tidak percaya. Namun, ia hanya mengangguk-angguk. Aku yakin, perempuan ini tahu sesuatu.

Tak lama, ia menyentuh tanganku. Dengan senyum manisnya, Anya berkata, "Gue emang belum kenal sama lo, tapi gue suka ikut sedih kalau liat orang di sekeliling gue murung. Apa pun masalah lo, gue harap lo bertahan, ya? Lo pasti kuat kok, pasti bisa lewatin semua ini."

"Thanks." Aku tersenyum getir.

Sampai acara bernyanyi mengelilingi api unggun selesai, aku masih berada di samping Anya. Memeluk lutut, dan memandang kosong ke arah api unggun besar yang sengaja dibuat untuk menghangatkan tubuh kami. Hingga akhirnya, panitia memperkenankan kami untuk istirahat di tenda masing-masing.

Dengan suhu udara yang rendah, kami tidur tanpa bantal dan selimut. Untungnya ada jaket yang menghangatkan tubuh kami, meskipun demikian tetap saja kami menggigil. Apalagi ketika hari menjelang subuh, astaga. Aku merasa diriku berubah menjadi es batu.

•••

Pagi harinya kami dibangunkan dengan manusiawi, lalu disuguhkan wedang jahe untuk menghangatkan tubuh. Kegiatan berikutnya adalah pertunjukkan improvisasi dari setiap kelompok, kelompokku menampilkan acapella seadanya dengan lagu "Darah Juang." Selama bersama kelompok, aku menjauh dari Bayan. Dia hanya memperhatikanku sesekali, atau mencuri pandang. Tidak ada sapaan darinya, apalagi percakapan.

Selanjutnya kami ditutup mata, berjalan tanpa arah mencari teman yang lain. Ketika sudah bertemu dengan teman, kami berjalan seperti dalam permainan ular naga. Bedanya dengan mata tertutup. Kami terus berjalan mengikuti instruksi, sampai aku merasa kami masuk kedalam kolam. Air dingin membuatku kembali menggigil, kami masuk ke dalam kolam setinggi kurang lebih satu meter.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang