getting strange

117 19 22
                                    

Esok harinya aku memaksakan diri untuk kuliah, sebagai bentuk dedikasi pada orang tua yang sudah berkorban uang dan jarak demi keinginanku kuliah di kota orang.

Aku menutup bekas sembab di mataku dengan concealer, melapisi lip tint di bibirku yang pucat, juga memoles blush on, supaya pipiku terlihat berseri. Tidak sia-sia aku membuang kuota internet untuk menonton tutorial make-up pada vlog Tasya Farasya, aku bisa memanfaatkannya untuk menutupi bengkak dan pucat di wajahku.

Winda sudah curiga ada yang tak beres sejak kedatanganku kemarin, namun aku bersikukuh mengatakan padanya kalau aku sangat lelah. Aku belum mau cerita, rasanya sakit hanya untuk mengingatnya saja.

Kelasku sepi. Banyak yang memilih absen dengan alasan sakit, sudah kuduga banyak dari peserta camping yang masuk angin. Memang acara tersebut menyenangkan, tapi untukku kesenangan tersebut tidak lebih dari sekadar bencana.

"Gue tebak lo nutupin sesuatu di muka lo pake make-up," ujar Marlena ketika aku duduk di sebelahnya. Aku hanya duduk berdampingan dengannya, sebab Rahma memilih skip mata kuliah yang pertama, dia akan datang ketika mata kuliah berikutnya.

"Gak cocok lo jadi tukang tebak."

"Terus, atas dasar apa lo dateng pake make-up kayak yang mau kondangan? Tebel banget, Tuhan … kurang blushing tuh pipi!" sarkasnya. Mungkin blush on-ku terlalu tebal.

"Banyak cocot lo, Len."

Marlena kembali melanjutkan aktivitasnya bermain game online di ponselnya, aku sendiri mulai menonton drama Thailand di ponsel dan menyumbat telinga dengan air pods. Ketika aku sudah memaksakan diri untuk masuk, rupanya dosen kuliah jam pertama berhalangan hadir. Ia hanya memberi tugas supaya kami belajar karena minggu depan akan diadakan kuis, tentu saja aku lebih memilih nonton drama untuk mengembalikan mood-ku.

"Dih, lo nontonin LGBT?" suara Marlena menginterupsi.

"Bahasa lo Lena … menunjukkan sekali kalau Anda bukan anak Tuhan. Gak semua orang Thai LGBT kali!"

Cewek itu ngakak. "Kenapa lo gak nonton Stranger Things? Lo bukannya ada Netflix, ya?"

Sialan. Aku jadi ingat Bayan yang berjanji untuk menemaniku nonton Netflix. Bahkan camilan yang kusiapkan untuk menonton bersamanya masih ada di kamarku, tersimpan dengan baik.

"Lo udah nonton?" tanyaku pada Marlena.

Dia menggeleng. "Belom selesai, sih."

"Baliknya ke kosan gue aja, kita nonton Netflix. Gue banyak makanan, sayang," ucapku agak keras, supaya Bayan yang baru duduk di belakangku mendengarnya.

"Owkei," jawabnya dengan ragu. "Jujur lo, ada masalah ya sama si Bayan?" bisiknya.

"Gak tau. Gue gak mau bahas dia."

"I see. Tell me more about it, gue gak akan berhenti nanya sebelum lo cerita semua. Lo tuh udah couple of the year banget, jangan kandas lah!"

"Kalo gue gak sayang hape, udah gue pake buat getok pala lo, Len. Sumpah!"

Marlena tertawa-tawa, kemudian kami kembali sibuk dengan ponsel masing-masing.

•••

Sesuai rencana, pulang kuliah Marlena berkunjung ke indekos. Untungnya kamarku rapi, aku juga sudah me-laundry pakaian-pakaian kotorku. Rahma ikut bersama kami, aku juga mengajak Anya yang kulihat sendirian sejak tadi. Sekarang, kamarku ramai, Winda turut bergabung dengan kami. Untungnya teman-temanku tergolong orang yang supel, sehingga mudah bagi mereka berbaur dengan Winda.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang