kayu bakar

95 17 18
                                    

Rahma panik, dia membantuku untuk bangkit dari atas tubuh Musa. Orang-orang sedikit berkerumun, namun segera dibubarkan oleh anggota tim disiplin.

Musa sedikit kesakitan karena tubuhnya tertimpa olehku, untungnya dia tidak terluka. Aku pun tidak apa-apa.

"Lo dari SD payah banget sih kalo soal loncat-loncatan?! Untung badan gue gak gepeng!" keluh Musa, lalu dia berdiri sambil membersihkan rumput kering yang menempel di bajunya.

"Bodo amat, gak akan diperhitungkan juga di akhirat entar," jawabku seraya kembali memakai tas.

"Ya tapi nyusahin orang, Japii!"

"Emang lo orang, Mus?"

Musa mencebik, sementara Rahma tertawa kecil. "Udah yuk, ribut mulu. Tuh timdis udah melotot," ajaknya.

Benar saja, beberapa anggota tim disiplin memerhatikan kami dengan nyalang. Tatapannya tajam seperti mau menerkam. Segera kami bertiga berlalu dan membentuk barisan bersama yang lain.

Para peserta camping diperintah untuk berjalan per-dua banjar, kami perlu menempuh jarak sekitar satu kilometer untuk sampai di tempat perkemahan yang sesungguhnya—di dalam hutan.

Kami melalui jalan setapak, yang memang hanya bermuatan dua orang. Jalanan tersebut berbatu, dan ditumbuhi rumput liar. Di sisi kiri jalan terdapat jurang, sedangkan di sisi kanan dipasangkan pagar sebagai pembatas antara jalan dan perkebunan—entah milik siapa. Selain itu, jalan ini juga menanjak dan menurun, beberapa kali kami berjumpa dengan belokan tajam yang membuat kami harus semakin berhati-hati.

Semakin jauh kami berjalan, semakin sepi dari riuh suara aktivitas manusia, yang terdengar hanya deru arus sungai di bawah jurang, juga suara serangga-serangga kecil yang hidup bebas menguasai alam.

Setengah jam berjalan kami diperkenankan duduk sebentar untuk menenggak air, itu pun dibatas hanya boleh setengah botol 200 ml paling banyak. Alasannya karena di hutan sana belum tentu kami menemukan sumber air minum dengan mudah.

Ketika aku terus berjalan, tanganku ditarik. Kawan disamping banjarku menoleh, namun seseorang yang menarikku memberi isyarat supaya barisan peserta tetap berjalan. 

"Kamu kenapa?" katanya, setelah melepas cengkeramannya dari tanganku.

"Bisa gak sih, gak usah nanya-nanya dulu 'kenapa?' kita ini posisinya lagi jadi peserta kemah!"

Cowok itu kembali menarikku dengan kasar, supaya bergabung dengan rombongan di barisan akhir. Selama perjalanan ia tidak melepas cengkeramannya dari tanganku.

"Bayan, lo mau remukkin tangan gue?" tanyaku sedikit berbisik, aku sudah menahan sakit akibat cengkeramannya sambil berjalan menyusuri jalan setapak, kali ini tanganku terasa kebas dibuatnya.

Entahlah, baru kali ini Bayan bersikap kasar padaku. Sudah memisahkanku dengan rombongan dengan cara ditarik, lalu mencengkeram tanganku sampai berbekas merah. Ada bekas kuku-kuku menancap juga pada kulit tanganku. Untungnya tidak berdarah.

Sambil berjalan aku mengusap tanganku yang kebas, mengingat kejadian semalam dan sikap kasar Bayan sekarang ini membuatku ingin menangis, tapi situasi saat ini tidak memungkinkan untukku menangis.

Rombongan berhenti sejenak, dari jauh terdengar suara tegas salah seorang tim disiplin yang menitah para peserta untuk berjalan seorang-seorang, karena jalan yang hendak dilalui berikutnya hanya muat satu orang.

"Maaf," lirih Bayan.

Aku hanya mengangguk, tidak berani menoleh untuk melihat wajahnya. Tanganku tidak berhenti mengusap tangan yang merah tadi, padahal rasa kebasnya sudah hilang.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang