semua sudah selesai

212 17 15
                                    

"Kamu kenapa?"

"Lo yang kenapa! Kenapa lo lebih milih bersikap jahat daripada terbuka sama gue? Kenapa susah banget sih lo percayain gue buat ceritain masalah yang lo punya?!"

Nafasku memburu, namun sebisa mungkin aku menenangkan diri. Aku tidak boleh menunjukkan emosi.

"Oh. Pasti si Bulet ngomong yang macem-macem, ya? Gak usah didenger," jawabnya.

"Gak usah nyalahin si Bulet! Masalahnya tuh ada di kita, Bayan. Tahu, gak? Tingkah lo tuh bikin gue ngerasa istimewa, diperlakukan semanis itu sama lo bikin berharap lebih sama lo. Tapi apa? Kenyataannya malah sebaliknya," tuturku dengan membara, lalu melemah di ujung ucapanku sebab menahan kristal-kristal bening yang siap meleleh membanjiri pipiku.

Kami berdua saling diam, tidak ada interaksi, tatapan mataku memandang kosong pada langit tanpa bulan. Sementara dia, entah mencari apa dibawah kakinya.

"Zafrina," panggilnya. Aku lantas menoleh, dengan tatapan yang sama seperti melihatnya bersama Misel. "Kita ini awalnya cuma temen iseng, ya udah biarin aja terus begitu. Kamu gak usah baper gimana-gimana atuh lah, orang cuma bercanda."

Aku menatapnya tajam, air mata berkumpul di pelupuk mataku dan siap menetes kapan saja aku berkedip. Tenggorokanku lagi-lagi tercekat, membuatku harus menelan saliva supaya tidak terasa perih.

Sambil tersenyum bengis aku berkata, "Lo tahu? Pertama kali lo nyapa gue, gue beneran benci diganggu cowok kayak lo. Sialnya, karena tingkah lo manis bikin gue jadi kebawa perasaan, pengen terus ada di deket lo  berharap kalau lo bakal buktiin omongan lo. Lo gak akan ninggalin gue. Eh tapi, gue gak yakin lo inget sama omongan lo itu."

Dengan sorot mata yang sama tajamnya denganku, Bayan membara menatapku. "Setelah lo bilang lo cuma bercanda, cih! Harusnya gue biarin rasa benci gue sama lo terus ada, Bayan. Biar lo juga gak perlu capek-capek buat mainin perasaan gue," ujarku lagi.

"Ya udah gini aja. Kamu benci aku, aku juga benci kamu. Impas, kan? Gak perlu ada drama begini, Neng."

"Anjing lo, brengsek!"

Aku membanting pagar, berjalan setengah berlari menuju kamarku. Winda yang berada di ambang pintu kamarnya panik menanyakan aku kenapa, namun tak kujawab sama sekali.

Kubanting juga pintu kamarku, menguncinya sampai terdengar suara Winda yang mengatakan kalau dia bersedia mendengarkan keluh kesahku.

Dari arah jendela yang terhubung dengan balkon aku dapat mendengar suara dentuman dari tembok bawah. Mungkin cowok itu menghajar dinding lagi, masa bodoh lah! Suara dentuman tersebut terganti oleh deru mesin motor matik yang digas dengan kecepatan tinggi.

Masa bodoh, masa bodoh, masa bodoh!! Berhenti memedulikannya, Zafrina!!!

Buru-buru aku menyalakan televisi, mencari acara komedi untuk kutonton. Sambil memakan dessert box pemberian Zafran aku tertawa melihat tayangan televisi, sesekali air mataku meleleh, membasahi pipiku yang naik karena tertawa.

Aku membohongi diri sendiri dibalik tawaku. Menyangkal rasa sakit yang menumpuk di rongga dada, yang menyulitkan untuk sekadar bernapas.

Sama sekali tidak terpikirkan olehku, kalau Bayan se-brengsek itu.

Sudahlah, aku juga tolol. Asal jatuh cinta pada manusia yang membual soal perasaannya padaku.

Mendadak aku terpikirkan Musa. Dalam tulisan Bayan, cowok itu menyebutkan soal Musa. Bisa saja Musa mengetahui fakta lain soal Bayan, kan? Tanpa berpikir panjang segera aku menelepon karibku itu.

"Napa? Tumben banget lo nelepon," katanya, begitu sambungan telepon terhubung.

"Mus …."

"Lo nangis?"

"Gak, gue ngakak ini lagi nonton Sule."

"Dasar pembohong amatir," katanya.

Aku tidak menjawab, beberapa detik berjalan namun tidak ada ucapan apapun dariku. Isakan-isakan kecil lolos tanpa izin, membuat Musa memanggil-manggil namaku sedikit khawatir. Padahal aku bingung harus membuka obrolan dari mana.

"Japi," panggil Musa lagi. "Kalau ini soal Bayan, gue udah bantu sebisa gue. Satu hal yang perlu lo tahu, orang yang udah sia-sia-in lo begini, bakal nyesel nantinya. Lo tuh beda, Jap, lo tuh unik."

"Gue kaget pas tahu Bayan tega banget sama lo. Gak nyangka aja. Gue tau berat banget pasti buat lo, baru juga deket eh dia malah begini. Pesen gue, Jap, lo jangan berlarut-larut sama persoalan ini, ya. Life must go on. Cowok bukan dia doang, dan lo juga pasti bakal ketemu jodoh. Cuma ya jalannya masih jauh aja," ucap Musa lagi. 

Aku menangis lebih tersedu, sampai aku meletakkan jauh ponselku dulu supaya Musa tidak mendengarnya. Tidak boleh ada yang tahu aku menangisi cowok brengsek sampai sebegininya. Setelah sedikit tenang, barulah kembali aku menempelkan ponsel pada telinga kanan.

"Makasih, Mus. Biarpun lo peres, tapi makasih lo udah ngerti banget yang gue rasain," ucapku.

"Yee ... siapa yang peres, sih? Gini-gini kan gue mantan lo, jadi yaa ... sedikit banyak gue tahu tentang lo."

Aku tertawa kecil, geli mendengar kata "mantan."

"Goblok ya, Mus kita dulu. Mau-maunya kita milih jadian," ujarku.

"Hahaha. Bener anjir, Rahma sampe ngakak denger cerita kita waktu pacaran."

"Lo ngomongin gue ke Rahma?!"

"Ya abisnya gue males cari topik, Jap. Ikhlasin ajalah lo jadi bahan obrolan, bentar lagi nih, gue dapetin Rahma."

"Aelah! Gak mau modal pikiran buat nyari topik!"

Musa terkekeh. "Udah, Jap. Tidur bego, udah malem. Jangan galau mulu. Gue mau chat Rahma dulu soalnya."

"Hm. Jancok!"

Musa tertawa, sesudahnya sambungan telepon terputus. Aku juga kembali menghabiskan dessert box yang diberikan Zafran.

Rupanya tidak ada informasi lebih mengenai Bayan. Ya Tuhan, kenapa aku terlalu peduli pada cowok itu, sih? Karena masa lalunya yang kelam? Hey, Zafrina, itu bukan urusanmu. Lagipula, dia sudah pergi dari hidupmu, tidak ada lagi yang harus dijelaskan. Semua sudah terpampang dengan nyata, dia hanya bercanda denganmu. Dan sekarang, ia lelah, ingin menyudahi candaan alotnya itu.

Tapi … bagaimana dengan ucapan Bayan dalam tulisan-tulisannya? Kalau benar dia terpaksa menjauhiku, bagaimana?

Apa aku harus kembali lagi padanya? Memohon, dan berkata aku siap menerimanya dengan segala kekurangan dan konsekuensinya?

ASTAGA!

Batinku terus berperang dalam tangisku yang tertahan. Jujur saja Bayan sudah merebut hatiku, ia berhasil membuatku jatuh hati kepadanya.

Tapi kenapa jadi begini? Apa semua karena kehadiran Misel?

Sepertinya, cewek itu lebih berarti bagi Bayan. Entahlah, meskipun dalam tulisannya cowok itu mengatakan bahwa Misel tak lebih dari sekadar cewek genit yang ia jadikan pelampiasan supaya Bayan tidak selalu mengingatku, tetap saja di depan mataku kenyataannya lain.

Ya Tuhan … aku benci pikiranku yang tak bisa mengenyahkan dia! Cowok yang merupakan duplikasi dari tokoh Kabayan; cowok yang memiliki sejuta candaan garing dan tingkah manis; cowok bernama lengkap Badrutama Aryan.

Untuk apa jatuh hati kalau berakhir patah begini?

Tunggu, sepertinya aku lupa. "Jatuh" memang selalu berakhir dengan luka, kan?

Kalau begitu untuk apa ada pertemuan? Kalau akhirnya dipisahkan secara menyakitkan?

Sudahlah. Memang salahku juga, selalu mengharapkan tak ada lagi kata pisah. Padahal, pertemuan dan perpisahan merupakan suatu proses yang tak dapat dielakkan.

🌻🌻🌻

Udahan ya.

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang