kecewa~

102 16 20
                                    

Now playing: Kecewa - Bunga Citra Lestari

•••

Lima belas menit yang lalu Bayan mengirimkan pesan kalau dia sudah berada di depan indekos-menepati janjinya untuk menonton Netflix. Aku baru membaca pesannya karena baru selesai mandi, jadilah aku baru membalasnya dan meminta Bayan untuk menungguku pakai baju sebentar.

Setelah selesai, bergegas aku menemuinya ke bawah. Baru sampai di ruang tamu, Bayan tengah duduk bersama Misel. Mereka seperti sedang membicarakan sesuatu yang penting, sampai tidak menyadari kehadiranku.

"Liat deh, Kak, masa dia bilang tau kosan aku. Kan, ngeri," kata Misel sambil menyodorkan ponselnya pada Bayan.

Cowok itu mengambil ponsel milik Misel. "He-em watir euy¹, ntar coba ya saya kasih tahu si Bulet dulu," jawab Bayan.

Lama mereka berbincang, lama juga aku menunggu. Padahal aku sempat ke kios Uda Faisal dulu untuk membeli beberapa camilan, buat dimakan sambil nonton nanti. Namun Bayan masih juga bicara dengan Misel, bahkan tidak menyadari pergerakanku yang bolak-balik.

"Ekhem." Aku berdehem supaya Bayan setidaknya menyadari kehadiranku. Kemudian aku pura-pura berjalan menuju ke dapur, namun akhirnya Bayan memanggil dan menghampiriku.

"Ai kamu kenapa lama pisan? Terus juga malah ke sana, ngapain?" tanyanya.

"Orang abis dari warung. Lo aja gak liat."

"Kak Bayaan! Ini dia nelepon aku!" pekik Misel panik, membuat Bayan terlihat risi dan kembali menghampirinya. "Tunggu sebentar, ya," katanya sebelum pamit.

Setengah jam aku menunggu di meja makan yang letaknya terhalang oleh kabinet besar tempat menyimpan perabot milik Uda Faisal dan Uni Siti, akhirnya aku memilih untuk menunggu Bayan di kamarku. Serta kukirimkan pesan WhatsApp padanya kalau sudah selesai urusannya dengan Misel, panggil saja aku.

Sambil menunggu Bayan, aku menonton televisi. Setengah jam, aku mulai menguap. Satu jam, mataku mulai lengket. Dua jam, aku tidak bisa menahannya lagi, aku ngantuk bukan main. Berjalan ke ruang tamu, dan yang kulihat hanyalah sofa serta meja kopi dengan sampah tisu diatasnya. Lanjut berjalan ke teras, tidak ada siapapun. Bahkan kios milik Uda Faisal pun sudah tutup. Serta tidak ada motor yang terparkir di depan pagar, tidak ada juga sandal laki-laki.

Artinya, Bayan pergi.

Rasa kesalku seperti bara kecil yang disiram bensin. Benar-benar memuncak, dan ingin meledak. Apalagi ketika sambungan telepon Bayan tidak terhubung sama sekali. Bagus. Ketika mood-ku sedang hancur, Bayan malah semakin menghancurkannya.

Pintu kamar yang terpajang angka 04 dari ornamen kayu itu tertutup rapat, dengan ragu kuketuk pintu yang merupakan kamar kos Misel tersebut.

Tiga kali, tidak ada jawaban. Jeda sedetik, pemilik kamar nomor 05 menyembulkan kepalanya, kemudian netra kami bertemu.

"Miselia lagi keluar, Kak, mau titip pesen?" ujarnya.

"Oh, nggak. Sorry nih kepo, dia pergi sama cowok yang katanya kakak kelasnya bukan, sih?"

"Hmm ... maksudnya cowok yang tadi di ruang tamu?"

Aku mengangguk.

"Iya, Kak, sebentar lagi juga pulang," jawab orang itu.

Baiklah aku paham. Misel dan Bayan pergi bersama, sampai nyaris larut begini keduanya belum kembali.

"Oh ... oke, deh. Makasih ya, sorry juga ganggu malem-malem gini."

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang