jurit malam dan pengakuannya

117 18 22
                                    

Tibalah kami pada inti perkemahan. Yap, jurit malam. Setelah sore hari kami gunakan waktunya untuk menyalakan lentera yang terbuat dari botol kaca dan diisi oleh minyak tanah juga sumbu, para senior menyuruh kami istirahat dan jangan ada yang berkeliaran karena waktu sudah menjelang Maghrib. Rupanya pukul sembilan malam, tenda kami dibuka begitu saja. Kami disuruh berbaris lagi di lapangan sesuai kelompok.

Hari benar-benar sudah gelap, aku tidak bisa melihat apa pun. Senter hanya boleh digunakan satu orang dalam satu kelompok, itu pun senter kecil yang penerangannya tidak seberapa. Sementara itu, senior membacakan perintah yang harus kami lakukan serta kode yang harus kami ingat dan diteriakkan ketika mengalami masalah. Tak lupa ia menyebutkan larangan yang tentunya harus kami patuhi.

Setiap kelompok dipandu oleh seorang senior, dan pemandu kelompokku adalah Kak Angga.

"Saya gak akan nunggu kalian, kalau ada yang tertinggal itu salah kalian. Saya juga tidak akan terus mendampingi kalian, saya hanya akan mengantarkan kalian sampai menemukan rambu yang ditentukan," ujar Kak Angga.

Kelompokku dengan kompak menjawab "paham." Setelah itu, perjalanan dimulai.

Awalnya aku berjalan di tengah, namun entah bagaimana jadinya aku berada di belakang dan di belakangnya ada Bayan. Masa bodoh, aku pura-pura tidak tahu.

Kak Angga menghilang setelah kami menemukan rambu, akhirnya hanya rambu dari kertas yang ditempel di pohon yang menjadi petunjuk kami.

Jalanan cukup terjal, hawa dingin membuat semua orang nyaris menggigil. Ditambah gelap yang benar-benar gulita, membuat kami sangat sulit menempuh jalan.

Suara babi hutan terdengar, membuat anggota kelompokku geming.

"Jangan ada yang teriak," bisik Adriana—salah satu anggota kelompokku yang berada di depan. Langkah kami terhenti beberapa detik, tepat saat itu juga aku dapat mendengar suara detak jantungku sendiri. "Lanjut jalan, tetap hati-hati," katanya. Kami pun mengikuti instruksinya.

Tibalah kami di pos pertama, berisi tim disiplin yang tengah mengelilingi api unggun.

"Ngapain kalian disini?!" sembur salah satu dari mereka. Padahal kami baru lewat.

"Permisi, Kak, kami menumpang lewat," jawab Adriana.

"Gak ada akhlak! Ngeliat orang lagi kesusahan di hutan cuma lewat aja! Goblok!"

Lah!

Akhirnya kami semua geming, berhenti tepat di depan pos mereka.

"Baris kalian! Bikin satu saf!" Kami menuruti perintahnya. "Lo semua gak liat kita kesusahan, kekurangan kayu bakar? Nyelonong aja!"

"Maaf, Kak," ujar salah seorang temanku dan disahuti oleh yang lainnya.

"Berisik!" bentak salah satu senior, kemudian ia kembali bertanya, "Apa yang merah, tetap terbang meskipun sayapnya terluka?"

"Burung," jawab salah seorang temanku.

"Salah!"

"Burung warna merah."

"Jawaban anak TK itu, jangan tolol!"

"Phoenix?"

"Kebanyakan nonton film lo!"

Akhirnya kami semua diam. Tidak ada yang menjawab. "Jawab! Masa gak ada yang tahu?!"

"Merah artinya berani, Kak," jawabku memberanikan diri. "Tetap terbang meskipun kakinya terluka, bisa aja burung yang berusaha mencapai tujuannya."

"Tuh, temen kalian udah bisa nebak. Tinggal dilengkapi jawabannya!" ujar salah satu dari mereka.

"Jawablah, katanya udah jadi mahasiswa!"

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang