malu, malu, malu!

141 22 12
                                    

Pagi-pagi sekali si Bayan sudah ada di depan pagar indekos, dia membawakan roti sisir yang kupesan. Kebetulan Winda berangkat lebih pagi karena ada acara sarapan dan salat Subuh berjamaah, aku bingung dia ospek atau sahur on the road. Fakultasnya memberlakukan kebijakan yang lumayan merepotkan, untung saja fakultasku santuy sangat. Maksudku, BEM fakultas.

Pukul 4.30 aku baru berangkat, sementara Winda sudah berangkat satu jam yang lalu. Bayan hari ini kebanyakan cengar-cengir, mungkin dia gila. Kami berjalan beriringan menuju kampus, tanpa ada pegangan tangan seperti kemarin.

"Heh, mau kemana?" panggilku. Lagipula dia main jalan saja, katanya mau bareng.

"Jalan atuh, ai kamu ngapain diem situ?"

"Nyebrang sini aja."

"Yeeh, Neng, nyebrang tuh harus di zebra cross. Selain memang itu jalurnya, kita juga bisa marahin pengendara yang gak mau ngalah." Bayan yang sudah beberapa meter berada di depanku kembali, ia meraih tanganku dan menggiringku untuk sampai ke zebra cross. Ya, kami berpegangan lagi karena mau menyebrang jalan.

Kali ini perasaanku lebih kacau daripada kemarin ketika Bayan memberikanku sebotol air, padahal cowok itu bersikap tenang-tenang saja seperti tidak terjadi apa-apa.

"Ekhem," aku pura-pura berdehem sekalian menetralkan degup jantungku. "Perasaan udah nggak nyebrang deh."

"Ya iya, emang kamu mau nyebrang terus?"

"Ya lepasin dong tangan gue!" semburku sambil mengangkat tangan kanan kami yang bertautan.

Aku memasang tampang judes ketika Bayan menatapku, namun dia malah tertawa. Ya Tuhan aku tidak mengerti lagi, aku jutek dia malah ngakak. Aku bercanda dia lebih ngakak. Kutuk sajalah aku menjadi kentang!

Bayan malah semakin mengeratkan genggamannya, bahkan ia menautkan jemarinya untuk mengisi kekosongan pada sela-sela jemariku. Kurang ajar.

Dan perasaanku yang berkata, "nanti saja lepaskan dia" juga lebih kurang ajar. Sumpah, bersama Bayan aku selalu berperang dengan perasaanku.

Ketika sampai di gymnasium, dia baru melepaskan tanganku. Sebelum berlalu untuk bergabung dengan barisan lelaki, dia menangkup kedua pipiku dengan tangannya. "Aku bakal nungguin kamu di samping gymnasium, jangan lupa lagi! Jangan sembarangan jalan kaki, ya! Kalo nggak nemuin aku telepon aja, 24 jam selalu siap sedia melayani."

Selama ia berbicara, aku tidak bisa menangkap secara fokus! Aku terlalu sibuk mengendalikan perasaanku yang tidak karuan ini, astaga! Tangannya yang dingin menempel di kedua pipiku, pasti terasa sekali olehnya kalau pipiku panas. Aku juga merasakan kalau pipiku panas, pasti warnanya jadi merah padam.

"Denger nggak, heeeii!!" Bayan menepuk-nepuk pipiku, bahkan ia menekan kedua pipiku sampai bibirku monyong-monyong seperti ikan.

Sadar kami tengah mempermalukan diri, aku menghempaskan kedua tangannya dari wajahku. "Apaan sih, lo! Udah sono baris, bikin gue ketinggalan barisan aja!" ketusku.

Dia tertawa, kemudian mengusap pelan puncak kepalaku. "Iya, iya, maap atuh, ya. Sok gih kamu baris, aku juga da udah dipanggil si Bulet. Daaah!" Bayan setengah berlari meninggalkanku, sesekali ia menoleh hanya untuk melambaikan tangannya. Bukannya membalas lambaian tangannya, aku malah menjulurkan lidahku untuk mengejeknya. Kalau disini tidak banyak senior, mungkin aku sudah memberi isyarat jari tengah.

Ah sudahlah, si Bayan itu memang banyak tingkahnya.

Baru saja aku berbalik, "Dor!"

Aku terkejut hingga tubuhku terlonjak kaget, "Astaga, Rahma! Gue kira siapa."

Tak Ingin Pisah LagiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang