Chapter - 3. Him As A Brother

2.4K 236 29
                                    

HAPPY READING 📖

------------------------------------------

Pertama kali masuk sekolah, ia sudah mendapat kesan buruk. Kylie akui, hari ini terasa berat dan ia mendadak ingin pindah sekolah. Sayang, uangnya tidak sebanyak anak-anak lain. Hidupnya sederhana. Tidak bergelimang harta, namun berkecukupan. Ia juga tidak mau menghamburkan uang karena sekolah, tapi ibunya salah memasukkannya ke sekolah ini. Ck, ia harus bertahan pada kelakuan tak sedap Zach di sekolah untuk seterusnya. Ibunya pula berada jauh dari jaraknya dan bekerja sebagai pelayan di rumah mewah tepatnya, di Los Angeles. Ia pula merantau ke Kota New York dengan berbekal uang $1500 dari ibunya—Lawrens Minoque. Ayahnya? Sudah tiada sejak ia berusia tujuh tahun.

Uang $1500 harus ia lipat gandakan agar tidak terus berkurang. Entah mengapa ibunya ingin menyekolahkannya di Igleas High School, padahal biaya pendaftaran dan masuknya tidak murah. Dan sialnya ia hanya setahun di sana. Damn! Sama sekali tidak berguna! Alasan ibunya memang cukup masuk akal. Jika ia bersekolah di tempat yang bagus, mungkin peluang kerja akan besar. Ah, tapi ia belum tentu yakin. Mengingat perlakuan buruk yang ia dapat di sana, semakin membuatnya malas untuk bersekolah. Ini yang dinamakan sekolah terbaik? Ck, hanya karena akreditas pun.

Jam lima sore, waktunya untuk pulang. Baguslah, lebih baik segera pulang daripada terus berada di sekolah terkutuk ini. Ia hanya malas berurusan dengan Zach. Sosok menyebalkan yang dari kemarin teramat giat mengganggunya.

Kini ia membetulkan coat-nya untuk pulang ke apartemen studio yang cukup murah. Ehm, sepertinya tidak. Ia harus bekerja terlebih dahulu. Ya, untuk melipatgandakan uang, ia harus bekerja.

Sudah sebulan ia menetap dan ketertarikan dengan dunia metropolitan di tempat ini sama sekali tidak bertumbuh. Ia malah ingin kembali ke Oklahoma, tempat lahirnya dan menetap selamanya di sana. Mengingat itu, ia merindukan sosok Miguel—kekasih yang telah pergi ke sisi Tuhan karena penyakitnya. Mungkin jika Miguel masih hidup, ia akan menjalani harinya di kota ini berdua. Sayangnya, itu hanya masa lalu dan sudah terjadi sejak dua tahun belakangan.

Ia memasuki sebuah toko roti dan meletakkan tasnya di loker yang begitu dekat dengan dapur. Bukan bekerja sebagai waitress atau pembuat kue, ia bekerja sebagai ... badut.

Setelah meletakkan tasnya, ia pergi ke tempat ganti pakaian dan mengambil kostum badut Doraemon kesayangannya di kursi yang tergeletak mati. Ia memakai kostum itu dan keluar melalui pintu belakang agar tidak menganggu pelanggan di depan.

Keluar dengan wajah bahagia di dalamnya, ia melambaikan tangan kepada orang-orang yang melewatinya. Ah, di dalam ini ia bisa sesuka hatin. Orang-orang tidak akan tahu siapa di dalam sini dan ia tidak perlu malu. Dikata gila pun tidak berpengaruh karena mereka tidak tahu wujudnya. Ia melambaikan tangan dan terus melambaikan tangan hingga sebagian orang terkikik geli. Anak-anak kecil yang tertawa, ia berikan high-five. Brosur toko ia ambil di rak, tepat di samping pintu masuk lalu mulai membagikannya ke orang-orang.

Beberapa menit membagikan brosur, ia melihat tiga orang di sekolah yang suka mencari masalah tengah memasuki toko. Ya, itu geng seperjuangan Zach. Sempat ia terpaku beberapa detik, namun akhirnya sadar bahwa ia berada di dalam kostum badut. Ia pikir ia akan dikenali. Mendengar ancaman Zach tadi pagi, ia berfirasat tidak enak. Zach pasti tidak main-main dengan ancamannya.

Ia mengembuskan napas. Mengabaikan mereka, ia mulai membagikan brosur yang sempat tertunda kepada orang-orang yang lewat.

Dari balik kaca, ia melihat aktivitas tiga orang itu. Berpikir apakah mereka akan membuat onar di dalam sana. Lagi-lagi ia berpikiran bodoh. Tentu tidak mungkin terjadi. Mereka tidak akan mempermalukan diri mereka sendiri di tempat ramai kecuali di sekolah. Jika bisa, ia ingin mempermalukan mereka sesekali. Ugh! Dasar, jago kandang!

Silver Lining ✅Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang